Buru, Aktivis.co.id – Persoalan terkait sengketa tanah akhir-akhir ini semakin menemukan momentumnya terutama sengketa tanah adat dimulai, dari sengketa tanah antar masyarakat, masyarakat dengan pengusaha, dan masyarakat dengan pemerintah. (01/06/2023)
Penyerobotan tanah Ulayat masyarakat Adat yang dilakukan oleh PT. Ormat Geothermal untuk Eksplorasi dan Eksploitasi Tenaga Panas Bumi atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Desa Wapsalit Kecamatan Lolong Guba tanpa ijin pemilik hak ulayat dari suku Gewagit atau marga Behuku – Hukunala di Dataran Waeapo. Ini membuat petaka, dan memunculkan masalah baru dimana menyebabkan konflik sosial antar marga NORO PITO NORO PA sehingga dari awal eksplorasi sudah ada penolakan dari masyarakat adat.
Di dalam Tanah Adat Titar Pito terdapat peninggalan-peninggalan yang sakral sehingga Tanah Titar Pito ini dikeramatkan, bukan hanya dari Suku Gewagit melainkan juga semua suku adat atau suku pribumi yang ada di Pulau Buru, yang sering disebut Noro Pito – Noro Pa (Tujuh Soa dan Empat Soa) di dataran wilayah Waeapo Petuanan Kaiely.
Titar Pito (Tujuh Balai) dari masing-masing 7 marga di dataran Wakabo Lalen sebagai tempat pertemuan para pimpinan marga untuk pembahasan mengenai pembagian wilayah kekuasaan, hak makan dari masing-masing marga, bahkan penunjukkan raja (Jou) dilakukan di Titar Pito. Ini yang menjadi dasar penolakan masyarakat adat, untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal.
Aksi Demo penolakan yang dilakukan oleh pemilik hak Ulayat bukan hanya sekali ini saja melainkan sudah Empat kali, pemilik hak Ulayat melakukan aksi penolakan dimana aksi Jilid ke-I, pemilik hak Ulayat melakukan Pemalangan jalan Utama PT. Ormat Geothermal yang berlokasi di Desa Waepsalit. Namun tidak digubris oleh pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini Perusahaan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Buru.
Kemudian Aksi Jilid ke-II, Pemilik hak Ulayat melakukan unjuk rasa ke Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yaitu didepan kantor Bupati Buru, Gedung DPRD Kabupaten Buru, dan Kadis Lingkungan Hidup. Berharap agar instansi-instansi di atas dapat melakukan mediasi antar pihak PT. Ormat Geothermal dengan pemilik hak Ulayat untuk Audiens, namun menuai hasil yang sama dimana pemilik hak Ulayat hanya diberi janji-janji manis terkait dengan mediasi – Audiens dengan Pihak Perusahaan.
Aksi Jilid ke-III, Pemilik hak Ulayat bersama-sama dengan seluruh Tokoh adat Soar Pito Soar Pa, Lembaga Adat Soar Pito-Soar Pa, LSM Parlemen Jalanan, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea melakukan unjuk rasa besar-besaran di dalam kota Namlea, Kabupaten Buru, Namun menuai hasil yang sama yaitu segala tuntutan dari para unjuk rasa tidak diindahkan alias tidak digubris.
Aksi Jilid ke-IV digelar di Pangkalan PT. Ormat Geothermal Indonesian (Desa Waepsalit) pada tanggal 11 Mei 2023. Puluhan masyarakat adat beserta pemilik lahan adat mendatangi lokasi eksplorasi PT. Ormat Geothermal untuk protes dengan melakukan Pemalangan di pintu utama PT. Ormat Geothermal Indonesia dan CV. BUMI NAMROLE, salah satu anak perusahaan lokal di Pulau Buru.
Aksi Demo ini juga pernah dilakukan pada Kementerian ESDM di Jakarta, oleh gabungan mahasiswa Pejuang Tanah Adat di bawah GERAKAN SAVE BATI dengan poin tuntutan MEMINTA KEPADA KEMENTERIAN ESDM, TERLEBIH KHUSUS DITJEN EBTKE SEGERA CABUT IJIN PT. ORMAT GEOTHERMAL KARENA TELAH MELAKUKAN PENYEROBOTAN LAHAN MASYARAKAT ADAT SEKALIGUS MERUSAK TATANAN ADAT DI TITAR PITO PULAU BURU.
Namun, aksi dari mahasiswa-mahasiswa ini hanya direspon oleh Humas Ditjen EBTKE dengan memberikan harapan bahwa akan dipanggil pihak perusahaan yang ada di Pulau Buru. Sampai pada saat ini, dari Ditjen EBTKE di bawah Kementerian ESDM hanya memberikan harapan palsu tutur Deliana. Dan bagi para mahasiswa PEJUANG TANAH ADAT, dibawah komando salah satu perempuan Srikandi Maluku, Christina Rumahlatu yang saat itu bersama-sama memperjuangkan Tanah Adat Bati di Seram Bagian Timur (SBT). Dengan permasalahan yang sama yaitu perampasan ruang hidup masyarakat adat dan Abaikan Hak Ulayat.
Sangat disayangkan ketika Pemilik Lahan hendak melakukan upacara adat/smake atau babeto kepada Leluhur sebelum pemasangan palang, tiba – tiba datang pihak marga Wael (orang-orang Adat yg bekerja sama dengan perusahaan), langsung melerai upacara tersebut dengan mengeluarkan kalimat TIDAK SOPAN, sehingga dari pihak pemilik lahan tidak terima, pasalnya mereka sementara melakukan upacara adat/smake (bahasa buru), mereka menganggap bahwa pihak yang pro perusahaan tidak menghargai pimpinan Adat Mereka.
Sehingga terjadi adu mulut antar warga Adat yang kemudian memicu terjadinya ricuh yang semakin memanas antar pemilik lahan dengan orang Adat dari marga Wael (Warga yang Pro Perusahaan) imbuh Deliana.
Informasi yang diterima Aktivis.co.id dari sumber yang tidak ingin dipublish namanya mengatakan bahwa diduga ijin AMDAL dari PT. Ormat Geothermal belum ada, begitu juga Pihak perusahaan sempat menawarkan akan memberikan 10% , namun tidak jelas 10% nya itu berasal dari mana?
Pada orasi Deliana selaku koordinator Gerakan #SaveTitarPito, bersama masyarakat adat saat pemalangan di pangkalan PT. Ormat Geothermal dan CV. Bumi Namrole yang berlokasi di Desa Waepsalit, Deliana menekankan bahwa Mahasiswa bersama pemuda Kabupaten Buru bahkan Para Pejuang Tanah Adat siap berjuang bersama masyarakat adat NORO PITO – NORO PA, akan menyelamatkan tanah adat Titar Pito sampai perusahaan PT. ORMAT akan angkat kaki dan keluar dari wilayah Tanah Adat Titar Pito.