Oleh : Bastian Ketua FKPPI Kalimantan Timur
(Aktivis.co.id)Bencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dengan korban lebih dari seribu jiwa menjadi peringatan keras bagi seluruh daerah di Indonesia, termasuk Kalimantan Timur.
Tragedi kemanusiaan tersebut bukan hanya soal hujan ekstrem, tetapi juga refleksi dari kerusakan hutan yang dibiarkan berlangsung lama tanpa pengawasan dan pengendalian yang tegas.
Sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, Kalimantan Timur memiliki karakter geografis dan ekologis yang tidak jauh berbeda dengan wilayah wilayah terdampak di Sumatra.
Hutan, sungai, dan kawasan hulu menjadi penyangga utama kehidupan masyarakat.Ketika fungsi ini rusak, maka banjir, longsor, dan krisis lingkungan hanyalah soal waktu.
Di Kalimantan Timur, perlu ditegaskan bahwa setiap perusahaan kayu dan perusahaan tambang yang beroperasi secara resmi sesungguhnya telah diwajibkan menyetor Jamrek atau jaminan reklamasi dengan nilai yang tidak kecil, bahkan tergolong fantastis, ke pemerintah pusat.
Kewajiban ini diatur secara jelas dalam regulasi Kementerian ESDM, diperkuat oleh aturan turunan di tingkat provinsi, serta menjadi bagian dari sistem perizinan dan pengawasan pemerintah daerah.
Artinya, secara regulasi, negara sebenarnya sudah memiliki instrumen pengaman untuk mencegah kerusakan lingkungan dan memastikan pemulihan pasca tambang maupun pasca eksploitasi hutan.
Masalahnya bukan semata pada ketiadaan aturan, melainkan pada konsistensi pengawasan dan keberanian menegakkan regulasi tersebut di setiap daerah.
Jamrek dan dana jaminan reklamasi tidak boleh hanya menjadi angka di atas kertas atau laporan administratif. Dana tersebut harus benar benar dipastikan digunakan sesuai peruntukannya, yaitu memulihkan lahan, menjaga daerah aliran sungai, dan mengembalikan fungsi ekologis kawasan yang telah dieksploitasi.
Pemerintah daerah memiliki peran strategis sebagai pengawas terdepan, karena dampak lingkungan pertama kali dirasakan oleh masyarakat lokal.
Belajar dari tragedi Sumatra, Kalimantan Timur tidak boleh menunggu bencana besar baru bertindak. Evaluasi izin, audit lingkungan, penertiban kawasan hutan, serta pengawasan ketat terhadap perusahaan kayu dan tambang harus menjadi agenda bersama antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil.
Pembangunan dan investasi memang penting, namun keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan jauh lebih utama. Ketika hutan rusak dan sungai kehilangan daya tampungnya, maka bencana tidak lagi bisa disebut sebagai musibah alam semata, melainkan akibat dari kelalaian kolektif.
Sebagai Ketua FKPPI Kalimantan Timur, saya memandang bencana di Sumatra sebagai alarm keras bagi daerah ini.
Kalimantan Timur harus berdiri di barisan depan dalam menjaga hutan, mengawal dana jaminan reklamasi, serta memastikan setiap kebijakan pembangunan berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan.
Jika tidak, maka Kalimantan Timur hanya tinggal menunggu giliran menghadapi tragedi yang sama.
Sumber : Bastian I Ketua FKPPI Kaltim
Editor : Teguh S.H











