Hari Puisi Nasional, Mengulik Perjalanan Chairil Anwar

Budaya494 Dilihat

Aktivis.co.id – Hari Puisi Nasional diperingati setiap tanggal 28 April. Walaupun kendatinya masih mengalami perdebatan untuk tanggal memperingatinya. Hanya saja, Tujuan peringatan Hari Puisi Nasional ini mengenang sosok penyair Chairil Anwar. Oleh karena itu, setiap peringatannya bertepatan dengan tanggal wafat Chairil Anwar, yakni 28 April 1949.

Chairil Anwar

Medan merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Pada tahun 1920-an  tinggal suatu keluarga pamong praja yang cukup terpandang, bernama Tulus. la mempunyai isteri bernama Saleha dan seorang puteri yang baru berumur antara 4 -6 tahun bernama Chairani. Keluarga tersebut merupakan keluarga pendatang. Mereka berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Tetapi Saleha, isteri Tulus, lahir dan dibesarkan di kota Medan. Sebenarnya Saleha bukan asli keturunan orang Payakumbuh, karena ibunya berasal dari Surabaya. Pada tanggal 26 Juli 1922 keluarga tersebut memperoleh putera kedua yang kemudian diberi nama Chairil Anwar. Kelak Chairil kecil ini akan menjadi tokoh pembaharu kesusasteraan Indonesia. la adalah pelopor Angkatan 45. Sedangkan Chairani kemudian kawin dengan A. Halim, sekarang bekas Asisten Bidang Kebudayaan Perwakilan Departemen P dan K Propinsi Sumatera Utara di Medan.

Sebagai keluarga pamong praja, keluarga Tulus selalu berpindah tempat tinggal dari satu kota ke tempat lain sesuai dengan penempatannya. Mereka tinggal agak lama, antara lain di Siak Sri lndrapura, Tanjung Balai, dan Pangkalan Brandan. Ketika Jepang datang pada tahun 1942 Tulus menjabat sebagai komis. Pada zaman Jepang ia menjadi kontroliur (19421945). Pada waktu Perang Kemerdekaan, Tulus sempat ditawan oleh pemuda, tetapi tak berapa lama ia dibebaskan kembali. Terakhir ia menjadi bupati di Rengat. Kemudian pada Aksi Militer Belanda II ia ditembak mati oleh Belanda pada tanggal 5 Januari 1949.

Chairil Anwar dilahirkan di tengah-tengah keluarga Minangkabau yang konservatif dan sangat taat kepada agama Islam. Suasana keluarga inilah yang menjadikan Chairil pada masa kecilnya harus hidup dengan menuruti segala didikan keagamaan dan tradisi yang kolot, sehingga jiwa Chairil kecil merasa terkekang. Hal ini masih ditambah lagi dengan kehidupan rumah tangga orang tuanya yang tidak tenteram. Mereka selalu terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran yang tidak habis-habisnya. Keduanya sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah. Dalam suasana keluarga yang seperti itulah Chairil Anwar dibesarkan. Dapatlah dibayangkan bagaimana pengaruh suasana seperti itu terhadap perkembangan jiwanya. Di samping itu Chairil Anwar sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Semua kebutuhannya sebagai seorang kanak-kanak selalu terpenuhi, baik berupa mainan, pakaian maupun makanan. Semuanya terpenuhi dalam kualitas yang terbaik. Apabila motor-motoran pasti motor-motoran yang baik, demikian pula sepeda dan mainan lainnya.

Apabila Chairil terlibat dalam suatu perkelahian, ayahnya selalu membenarkan Chairil, bahkan kalau perlu ikut juga berkelahi. Kakak perempuannya, Chairani, juga sangat memanjakan Chairil. Ketika Chairil masih sekolah, kakaknya ini sudah menjadi guru di Medan. Tampaknya Chairil sangat dekat dengan kakaknya itu. Di luar rumah Chairil kecil juga merupakan kesayangan orang. Di samping karena kedudukan bapaknya yang cukup terpandang, pribadi Chairil sendiri membuat banyak orang sayang kepadanya. la seorang anak yang cakap rupanya, cerdas serta tajam otaknya, lincah, terbuka, dan tidak penakut atau malu-malu. Karena itulah di sekolah pun ia disayangi guru-guru dan teman-temannya. Sampai ia remaja seolah-olah seluruh dunia memanjakan dia. Uang, tidak pernah kekurangan, demikian juga pakaian, makanan, dan keperluan-keperluan lain seperti sepeda. Saat itu Chairil dituruti semua kehendaknya. Akibatnya ia menjadi seorang yang tidak mau dikalahkan.

Chairil Anwar
Sumber Foto : Google

Mula-mula Chairil Anwar sekolah di Hollandsch lnlandsche School (H.l.S) di Medan, kemudian melanjutkan ke MULO, juga di Medan, tetapi baru sampai kelas dua ia keluar dan pergi ke Jakarta yang waktu itu masih disebut Batavia. Chairil yang sudah remaja bergaul dengan siapa saja, hampir semua orang dikenalnya. Dia seorang yang besar rasa sosialnya dan tidak sombong walaupun sebenarnya ia seorang yang angkuh dan merasa dirinya hebat. la memandang semua manusia sama derajatnya. Sejak di HIS ia telah gemar membaca. Chairil menguasai bahasa Belanda dengan baik. Setiap liburan Chairil pulang ke rumah orang tuanya di Pangkalan Brandan. Suatu ketika Chairil pernah membacakan ibunya satu bagian dari buku “Layar Terkembang” karangan Sutan Takdir Alisyahbana dengan keras, sehingga kedengaran polisi. Karenanya polisi datang dan membawa Chairil ke Kantor Palisi untuk diperiksa, tentang macam-macam hal seperti filsafat, politik, kesusasteraan, agama, dan lain-lainnya. Kesukaannya yang lain ialah bergunjing.

Pelopor Angkatan 45

Pada zaman pemerintahan Jepang di Indonesia akibat penggunaan bahasa Belanda dan lnggris dilarang oleh Jepang, makanya bahasa Indonesia semakin intensif dipergunakan, sehingga sastra Indonesia semakin berkembang. Para seniman dikumpulkan dalam Pusat Kebudayaan, supaya bekerja untuk kepentingan Jepang. Di sinilah kemudian muncul seorang pemuda bernama Chairil Anwar yang tidak setuju dengan maksud Jepang tersebut. Seperti Angkatan Pujangga Baru yang mengadakan pembaharuan atas Angkatan Balai Pustaka, maka Chairil Anwar menghendaki pembaharuan atas Angkatan Pujangga Baru yang dianggap telah tidak sesuai dengan situasi zamannya. Angkatan Chairil Anwar ini kemudian disebut Angkatan 45. Adapun tokoh-tokoh Angkatan 45, di samping Chairil Anwar, antara lain terdapat Asrul Sani, ldrus, Rivai Apin, dan lain-lain.

baca juga: Prabowo Ogah Jadi Cawapres Ganjar, PDIP: Kita Tidak Kawin Paksa

Jepang terkenal sebagai bangsa yang menaruh minat besar terhadap kesenian, termasuk juga kesenian Indonesia. Perhatian pembesar-pembesar Jepang terhadap kesenian Indonesia sangat besar. Hal ini membangkitkan pikiran beberapa seniman Indonesia untuk mencari jalan mempersatukan kaum seniman ke dalam suatu wadah. Janganlah hendaknya kaum seniman hanya dieksploitasi oleh kekuasaan Jepang. Namun mereka juga tahu bahwa Pemerintah Jepang melarang berdirinya suatu perkumpulan (organisasi). Karena itu beberapa seniman antara lain Anjar Asmara dan Kamajaya kemudian menemui Bung Karno untuk membicarakan hal tersebut.

Ternyata Bung Karno bersedia memprakarsai berdirinya suatu Pusat Kesenian Indonesia, untuk mempersatukan para seniman tersebut. Maka dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan susunan pengurus sebagai berikut :

  1. Ketua : Sanusi Pane
  2. Sekretaris : Mr. Sumanang
  3. Anggota : Winarno (wartawan), Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Kamajaya
  4. Badan Pelatih : Anjar Asmara, Ny. Bintang Sudibya (lbu Sud, pengarang lagu kanak-kanak), Ny. Sudjono (isteri bekas Dubes RI untuk Jepang), Ny. Ratna Asmara, Sudjojono, Basuki Abdullah, Kusbini, Dr. Purbocaraka, Mr. Djoko Sutono, Dr. Rosmali, Kodrat (penari), dan lnu Perbatasari (dramawan)
  5. Badan Pengawas : Ir. Soekarno, Sutardjo Kartohadikusumo, Mr. Maria Ulfah, Ir. Surachman, Mr. Ahmad Subardjo, K.H. Mas Mansur, Ki Hadjar Dewantoro, dan seorang Jepang lchiki

Kemudian diputuskan bahwa Pusat Kesenian Indonesia bermaksud mencipta Kesenian Indonesia Baru, antara lain dengan jalan menyesuaikan dan memperbaiki kesenian daerah menu ju kesenian Indonesia Baru. Pusat Kesenian Indonesia itu berdiri tanggal 6 Oktober 1942. Atas berdirinya pusat kesenian tersebut Pemerintah Jepang mempersiapkan berdirinya “Pusat Kebudayaan”. Dalam persiapan itu dilakukan pembicaraan dengan pemimpin-pemimpin Badan Pusat Kesenian. Hari Puisi

Bahkan pimpinan Pusat Kebudayaan yang akan dibentuk itu akan diserahkan kepada tokoh-tokoh pusat kesenian. Pada hakekatnya pendekatan tersebut hanya merupakan bujuk halus agar Pusat kesenian luluh ke dalam Pusat Kebudayaan, sehingga semua kegiatan kesenian berada di bawah pemerintahan balatentara Jepang khususnya Sindenbu. Akhirnya berdirilah Pusat Kebudayaan yang dicita-citakan Pemerintah Jepang tersebut dengan nama Keimin Bunka Shidosho pada tanggal 1 April 1943, berkantor di Jalan Noordwijk ( sekarang Jalan Ir. H. Juanda), tetapi baru diresmikan tanggal 29 April 1943 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Tennoo Heika.

Adapun maksud dan tujuan Pusat Kebudayaan itu adalah sebagai berikut:

a. Untuk menyesuaikan kebudayaan dengan cita-cita Asia Timur Raya

b. Bekerja dan melatih ahli-ahli kebudayaan bangsa Nippon clan Indonesia bersama-sama

c. Memajukan kebudayaan Indonesia.

Pusat Kebudayaan mempunyai beberapa bagian yaitu

1. Bagian Kesusasteraan

2. Bagian Lukisan

3. Bagian Musik

4. Bagian Film

5. Bagian Sandiwara dan Tari menari

Kemudian susunan pengurus yang disyahkan Gunseikanbu sebagai penasehat kehormatan. Dalam Pusat Kebudayaan inilah kemudian dilatih seniman-seniman, pelukis-pelukis, sastrawan-sastrawan, penyanyi-penyanyi, pengarang lagu, pemain sandiwara, dan ahli pahat untuk mengabdikan seni mereka pada dewa peperangan. Mereka diperalat untuk kepentingan perang Jepang. Mereka diarahkan pada semboyan “Kemakmuran Bersama”. “Asia untuk Bangsa Asia”, dan disuruh membuat sajak-sajak seperti Kapas, Kepabrik, Ke Laut, dan sebagainya. Pada Bagian Kesusasteraan, sastrawansastrawan muda kemudian membentuk Angkatan Baru dan akan mengadakan pertemuan setiap bulan sekali untuk mengadakan diskusi, ceramah, dan lain-lain. Di sinilah mulai dikenal seorang sastrawan muda bernama Chairil Anwar yang sangat berani mengeluarkan pendapatnya. la tidak mau berpura-pura menjadi corong propaganda Jepang. la tidak senang terhadap usaha Pemerintah Jepang yang mengalihkan semangat kebudayaan bangsa Indonesia dan menjadikannya suatu potensi perang untuk memenangkan kepentingannya. Hari Puisi

Sedangkan Chairil Anwar sejak semula sudah menaruh curiga. la mempunyai pandangan tersendiri mengenai seni di Indonesia. Chairil Anwar mulai dikenal sebagai penyair pada tahun 1945. Pada suatu hari di tahun tersebut ia datang ke Redaksi Panji Pustaka membawa sajak-sajaknya. la minta pada redaksi yaitu Armyn Pane agar sajaksajaknya dimuat dalam Panji Pustaka. Di antara sajak tersebut terdapat sajak “Aku”. Tetapi ditolak oleh Armyn Pane karena sajak-sajaknya sangat individualistis. Terutama sajak Aku terlalu berbau pemujaan terhadap diri sendiri. Atas penolakan tersebut ternyata Chairil tidak sakit hati. Menu rut H.B. Jassin “Aku” ditolak sebenarnya bukan karena sajak itu buruk, melainkan karena lebih banyak menyangkut situasi pada saat pendudukan Jepang yang peka terhadap kata-kata yang dapat dituduh mengandung unsur-unsur agitatip dan “Aku” memang mengandung bara api. Dari Panji Pustaka “Aku” tiba di redaksi majalah Timur yang dipegang oleh Nur Sutan lskandar. Walaupun Nur Sutan lskandar tidak menyetujui sikap dan tampang Chairil Anwar. Tetapi ketika Chairil Anwar datang, Nur Sutan lskandar menyetujui dimuatnya “Aku” dalam majalah Timur dengan dirubah judulnya menjadi ” Semangat” . Hari Puisi

Melalui sajak “Aku”nya tersebut Chairil Anwar kemudian terkenal dengan sebutan “SI BINATANG JALANG” di kalangan teman-temannya. Dalam menuliskan sajak-sajaknya Chairil membawa perubahan yang radikal. la mempergunakan bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan lagi bahasa buku melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra. Bentuk dan iramanya jauh dari pantun, syair, soneta,ataupun sajak bebas Pujangga Baru. lsinya seperti dibuat berisi listrik. lni adalah pemberontakan yang terjadi dalam jiwa. Ukuran-ukuran lama dilemparkan semua. Kesombongan yang dilarang orang-orang tua mencapai puncaknya, maut ditantang dan dikesampingkan. Hari Puisi

Chairil Anwar seorang yang tidak bisa diikat dan tidak bisa mengikat diri. Hasil karya Chairil Anwar terdiri dari puisi dan prosa, baik berupa puisi dan prosa asli, saduran maupun terjemahan. Menurut H.B. Jassin, Chairil Anwar telah menulis 72 sajak asli (satu dalam bahasa Belanda ), dua sajak saduran, 11 sajak terjemahan, tujuh prosa asli (satu dalam bahasa Belanda), dan empat prosa terjemahan. Dengan demikian semua karya Chairil Anwar berjumlah 96 judul. Hari Puisi

Kumpulan sajak Chairil Anwar yang pertama kali diterbitkan ialah Deru Campur Debu oleh PT. PEMBANGUNAN Jakarta pada tahun 1949. Kumpulan sajaknya yang ke dua Kerikil Tajam, dan Yang Terempas Dan Yang Putus diterbitkan oleh PUSTAKA RAKYAT pada tahun 1949 itu juga. Di samping itu masih terdapat beberapa sajak Chairil yang dikumpulkan bersama-sama sajak Asrul Sani dan Rivai Apin dalam sebuah buku yang diberi judul Tiga Menguak Takdir, diterbitkan oleh BALAI PUSTAKA pada tahun 1950. Sedangkan sajak-sajak Chairil yang belum termasuk dalam ketiga buku tersebut dikumpulkan oleh H.B. Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, diterbitkan oleh PT. GUNUNG AGUNG pada tahun 1956. Hari Puisi

Chairil Anwar menganut aliran ekspresionisme di samping ia seorang individualis. Hari Puisi

Sumber : Buku Chairil Anwar : Hasil Karya & Pengabdiannya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *