Aktivis.co.id –Tingginya prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia disebabkan oleh perubahan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, pola makan yang tidak seimbang, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, dan kurangnya aktivitas fisik. Perilaku tersebut merupakan salah satu kontributor utama terjadinya penyakit jantung koroner (PJK). Dilaporkan, 50% penderita PJK berpotensi mengalami henti jantung mendadak atau kematian jantung mendadak.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan, data Riskesdas pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 1,5%, sedangkan prevalensi penyakit jantung koroner sebesar 0,5% pada tahun 2013. Berdasarkan Global Status Report on NCD 2019 (IHME), sebanyak 17 ,8 juta kematian, atau 1 dari 3 kematian di dunia setiap tahun, disebabkan oleh penyakit jantung.
“Kalau dari hasil survei IHME yang kita lihat bahwa penyakit jantung iskemik pada tahun 2019 itu menempati urutan nomor satu dan pada tahun 2021, pasca-COVID-19 pun masih menempati urutan nomor satu, hanya dari jumlah kematian yang terjadi sedikit menurun, tetapi perbedaannya tidak terlalu besar, kata dr. Nadia pada temu media Hari Jantung Sedunia (HJS) pada Senin (23/9/2024).
dr. Nadia melanjutkan, secara global, penyakit jantung iskemik tetap menjadi penyebab utama kematian. Sementara di Indonesia, penyakit stroke menjadi penyebab kematian terbesar. Berdasarkan total kematian, terjadi penurunan jumlah kematian akibat stroke dari 21,8% pada tahun 2019 menjadi 18,49% pada tahun 2021, diikuti oleh penyakit jantung iskemik.
“Jadi, di Indonesia justru sebaliknya yang menjadi penyebab utama kematian justru adalah stroke dan bisa saja penyebabnya karena mungkin layanan deteksi kesehatannya belum betul-betul merata sehingga tidak terdeteksi dan masih menjadi salah satu isu,” lanjut dr. Nadia.
Pada tahun 2023, terjadi peningkatan jumlah pembiayaan untuk penyakit katastropik yang mencapai Rp34,8 triliun, di mana penyakit kardiovaskular (jantung dan stroke) menjadi penyakit dengan pembiayaan terbesar, yakni Rp22,8 triliun, dalam program JKN.
Lebih lanjut, dr. Nadia menyebutkan empat perilaku masyarakat yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, yaitu merokok, mengurangi aktivitas fisik, meminimalkan konsumsi buah dan sayur, serta mengonsumsi gula, garam, dan lemak secara berlebihan.
“Bisa dilihat penyakit jantung saat ini mulai banyak pada usia-usia muda. Mengapa terjadi pergeseran usia pada penyakit jantung? Karena adanya perubahan gaya hidup yang tidak sehat,” katanya melanjutkan.
Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian di dunia selama 20 tahun terakhir. Kematian akibat penyakit jantung secara global mencapai hingga 18,6 juta setiap tahunnya. Angka kematian tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 20,5 juta pada tahun 2020 dan 24,2 juta pada tahun 2030.
Presiden Persatuan Jantung Indonesia dr. Radityo Prakoso, yang juga hadir sebagai narasumber dalam temu media HJS, menjelaskan bahwa penyakit jantung iskemik berkontribusi terhadap persentase kematian tertinggi di antara berbagai penyakit jantung. Selain itu, penyakit jantung tidak hanya ditemukan pada usia tua, tetapi juga pada usia muda.
“Gaya hidup tidak sehat menjadi penyebab paling umum dari penyakit jantung koroner di usia muda,” kata dr. Radityo.
Lebih lanjut, dr. Radityo menyebutkan beberapa gejala yang mengarah pada penyakit jantung, yaitu rasa tidak nyaman di area dada (nyeri, sesak, tertekan, terbakar); mual dan muntah; keringat dingin; pusing atau pingsan; nyeri yang menjalar ke lengan, rahang bawah, tenggorokan, atau punggung; kaki bengkak; mudah lelah; berdebar-debar; detak jantung tidak teratur; serta batuk yang tidak kunjung sembuh dengan dahak berwarna merah muda muda atau berbusa putih.
“Kendati demikian, gejala tersebut dapat bervariasi antar individu. Segera periksakan diri Anda ke dokter apabila terdapat dugaan kuat penyakit jantung terutama jika memiliki risiko tinggi,” kata dr. Radityo.
dr. Radityo melanjutkan, 80% penyakit jantung dapat dicegah melalui pencegahan primer, yaitu promosi kesehatan dan proteksi spesifik, seperti berhenti merokok, makan makanan sehat, rutin beraktivitas fisik, menghindari konsumsi alkohol berlebihan, tidur yang cukup, dan menjaga berat badan tetap ideal.
Sementara itu, pencegahan sekunder dilakukan dengan deteksi dini dan tata laksana awal segera, seperti evaluasi tekanan darah, evaluasi kadar kolesterol, indeks massa tubuh (IMT), dan kadar gula darah secara rutin atau berkala.
Rita Ramayulis, perwakilan dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia yang juga hadir sebagai narasumber, menekankan pentingnya pengaturan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL). Konsumsi gula sebaiknya dibatasi hingga 50 gram per hari, garam 2.000 mg per hari, dan lemak 67 gram per hari.
“Kecukupan konsumsi gula dalam pembagian bahan makanan sehari menurut gizi seimbang untuk laki-laki usia 19-29 tahun dengan 2725 kkal,” kata Dr. Rita.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah menyusun beberapa strategi untuk mencegah dan mengendalikan penyakit jantung koroner dengan pendekatan PATUH dan CERDIK.
PATUH: Periksa kesehatan secara rutin dan mengikuti anjuran dokter; Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur; Tetap diet dengan gizi seimbang; Upayakan aktivitas fisik dengan aman; Hindari asap rokok, alkohol, dan zat karsinogenik lainnya.
CERDIK: Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok, Rajin beraktivitas fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat cukup, Kelola stres.
Kemenkes RI memperingati Hari Jantung Sedunia dengan menggelar temu media melalui Zoom Meeting pada Senin (23/9/2024). Temu media ini mengangkat tema global “Gunakan Hati, Untuk Bertindak”, dan tema nasional “
Ayo Bergerak untuk Sehatkan Jantungmu.”