Oleh: Teguh Setiandi
Aktivis.co.id.Kerusakan hutan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, semakin menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Dalam satu dekade terakhir, laju deforestasi di daerah ini meningkat tajam akibat maraknya aktivitas pertambangan, perkebunan sawit, serta pembalakan liar. Jika tidak ada tindakan serius dan tegas dari pemerintah dan masyarakat, maka ancaman bencana ekologis, khususnya banjir besar, akan menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.
Kabupaten Berau dikenal sebagai salah satu wilayah di Kalimantan Timur yang memiliki kekayaan hutan tropis yang luar biasa. Hutan-hutan ini tidak hanya menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, tetapi juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, termasuk sebagai penyerap air hujan alami. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Lahan-lahan hutan terus dibuka secara masif tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Data dari berbagai lembaga lingkungan menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, Berau telah kehilangan lebih dari 100 ribu hektare hutan alamnya. Angka ini tentu bukan sekadar statistik, melainkan alarm keras bagi keberlanjutan lingkungan di wilayah tersebut. Dengan hilangnya hutan sebagai penyangga ekosistem, maka potensi bencana ekologis seperti banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan di musim kemarau kian meningkat.
Ironisnya, di tengah krisis lingkungan yang semakin parah, aktivitas eksploitasi sumber daya alam terus berjalan tanpa kendali. Izin-izin konsesi lahan perkebunan dan tambang terus dikeluarkan tanpa mempertimbangkan daya tampung lingkungan. Pengawasan pemerintah yang lemah serta praktik korupsi dalam pemberian izin turut memperparah situasi. Hasilnya, hutan-hutan Berau yang dulu hijau kini berubah menjadi lahan gundul yang rentan terhadap bencana.
Dalam 10 tahun ke depan, ancaman banjir besar di Kabupaten Berau bukan lagi sekadar bayangan, melainkan sebuah keniscayaan jika kerusakan hutan tidak segera dihentikan. Perubahan iklim global yang semakin ekstrem akan memperparah dampak dari deforestasi ini. Intensitas hujan yang meningkat, ditambah dengan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap air, akan mengakibatkan aliran air permukaan yang berlebihan. Akibatnya, banjir besar yang melanda pemukiman, fasilitas umum, hingga lahan pertanian menjadi ancaman nyata.
Lebih dari itu, dampak sosial ekonomi dari bencana ekologi ini akan dirasakan oleh seluruh masyarakat Berau. Kerugian materi akibat banjir, rusaknya infrastruktur, hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat dan petani lokal, hingga ancaman kesehatan akibat air yang tercemar, menjadi risiko yang tidak bisa diabaikan.
Pemerintah daerah dan pusat harus segera bertindak. Moratorium pembukaan lahan baru perlu ditegakkan secara ketat. Pengawasan terhadap aktivitas tambang dan perkebunan harus diperketat. Lebih dari itu, program rehabilitasi hutan dan restorasi ekosistem harus menjadi prioritas utama. Melibatkan masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat, dalam menjaga kelestarian hutan menjadi langkah strategis yang tidak boleh ditunda.
Kesadaran masyarakat Berau sendiri juga perlu ditingkatkan. Pembangunan ekonomi tidak selalu harus mengorbankan lingkungan. Konsep ekonomi hijau yang berwawasan lingkungan harus mulai diperkenalkan dan diterapkan secara nyata. Jika tidak, maka Berau yang saat ini dikenal sebagai surga biodiversitas, akan berubah menjadi wilayah rawan bencana dengan kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan.
Hutan Berau tidak hanya warisan alam, tetapi juga jaminan kehidupan bagi generasi mendatang. Menjaga hutan Berau hari ini adalah investasi bagi masa depan yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan. Jangan sampai bencana besar menjadi harga mahal yang harus dibayar akibat kelalaian kita saat ini.**