Aktivis.co.id.Opini- Oleh: Joko Supriyadi S.T.,M.T (Ketua Yayasan Sejarah dan Budaya Kaltara)
“JAS MERAH! Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah!” begitu kata bung Karno dalam salah satu pidatonya. Cagar Budaya adalah bagian dari sejarah manusia. Dalam definisi yang lebih luas, cagar budaya adalah bagian dari sejarah alam sekitar kita. Oleh karena itu melestarikan Cagar Budaya merupakan suatu upaya melestarikan sejarah juga. Sedangkan tindakan perusakan cagar budaya adalah suatu tindakan meninggalkan sejarah.
Menurut peraturan perundang-undangan, yang disebut sebagai Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang berusia lebih dari 50 tahun dan atau perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Pada zaman kuno dulu, nenek moyang kita sangat menjaga kelestarian cagar budaya, antara lain makam-makam leluhur dan pohon-pohon tua yang dijumpai di sekitar mereka. Suatu sanksi berupa denda adat atau paling berat berupa kutukan dijatuhkan kepada orang-orang yang berani merusak makam keramat atau menebang pohon-pohon tua. Misalnya di Bulungan, ada sebuah makam keramat di Desa Pelban yang tidak boleh diganggu atau bahkan sekedar dilewati oleh orang Bulungan. Demikian juga tradisi penghormatan terhadap pohon-pohon tua, sehingga dipercaya ada “penunggu”-nya yang dapat menyakiti masyarakat bila pohon itu ditebang atau bahkan didekati. Semuanya itu adalah bentuk kearifan lokal masyarakat tempo dulu yang bertujuan melestarikan cagar budaya sebagai bagian dari sejarah mereka.
Seiring pergantian zaman, perusakan cagar budaya semakin marak terjadi. Situasi politik salah satu penyebabnya. Misalnya kasus pengeboman keraton Berau oleh Jepang pada masa Perang Dunia Kedua, kasus perusakan Candi Singasari, kasus pembakaran Keraton Kesultanan Bulungan pada era 1960an, kasus pengeboman Candi Borobudur pada tahun 1985 dan Gereja Tua Hila yang dibakar ketika konflik Ambon pada 1999.
Alasan-alasan ekonomi juga dapat menjadi penyebab perusakan cagar budaya, bahkan kasusnya lebih banyak daripada alasan politik. Ekspansi modal mengalahkan kearifan lokal. Pohon-pohon tua yang dahulu dianggap keramat, saat ini habis dibabat untuk dijual oleh perusahaan-perusahaan kayu. Makam-makam kuno yang dahulu didekati saja tidak boleh, namun saat ini dengan mudah digusur untuk keperluan Hutan Tanaman Industri atau ditenggelamkan untuk pembangunan bendungan.
Kasus perusakan akibat alasan ekonomi lainnya adalah perusakan cagar budaya “rumah cantik mentent” di Jakarta pada 2010, Penghancuran benteng putri hijau di Deliserdang untuk perumahan pada 2011, perobohan Sinagog kuno di Surabaya untuk dibangun Hotel pada tahun 2013, perobohan Rumah Radio Bung Tomo di Surabaya untuk Lahan Parkir pusat perbelanjaan pada tahun 2016, pembongkaran pasar Cinde di Palembang untuk pembangunan pasar Modern pada 2017, pembongkaran rumah kembar Malabar karya Soekarno pada tahun 2018, perusakan Kubur Batu di Minahasa untuk mencari harta karun pada 2019, rumah singgah Soekarno dibongkar untuk pembangunan restoran pada 2023 dan kasus terkini terjadi pada tahun 2023 di Tarakan, pembongkaran cagar budaya peninggalan perang dunia kedua untuk pembangunan warung makan.
Kasus-kasus tersebut merupakan suatu kejahatan. Indonesia telah memiliki Undang-Undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mana di dalamnya diatur sanksi berat bagi orang yang merusak cagar budaya, yakni pidana 15 tahun penjara atau denda hingga 5 milyar rupiah (Undang-Undang No. 11 tahun 2010 pasal 105). Bahkan, upaya-upaya menghalangi pelestarian cagar budaya saja dapat dipidana 5 tahun penjara dan denda hingga 500 juta rupiah (Undang-Undang No.11 tahun 2010 pasal 104).
Sanksi-sanksi tersebut sebenarnya sudah cukup memadai untuk mencegah atau memberi efek jera bagi para perusak cagar budaya, namun sayangnya penerapannya di daerah masih kurang. Hal ini disebabkan proses Implementasi undang-undang cagar budaya cukup rumit. Pertama pemerintah daerah perlu memetakan objek diduga cagar budaya (ODCB) baik yang ditemukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Kedua, pemerintah perlu membentuk Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), yang berwenang menilai apakah ODCB adalah benar-benar Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya. Ketiga, kepala daerah menetapkan ODCB menjadi Cagar Budaya.
Proses pemetaan cagar budaya secara lengkap membutuhkan anggaran dan waktu yang besar, sehingga besar kemungkinan ODCB mengalami kerusakan sebelum dipetakan. Di sisi lain organisasi masyarakat yang fokus memetakan cagar budaya juga tidak banyak, sehingga partisipasi masyarakat kurang di bidang ini.
Kendala lainnya adalah belum dibentuknya Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) sehingga banyak juga ODCB yang tertunda penetapannya padahal telah ditemukan dan diusulkan di suatu daerah untuk dijadikan cagar budaya. Proses pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya juga tidak mudah, karena orang-orang yang ditunjuk sebagai Tim Ahli wajib memiliki standar kompetensi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.2 Tahun 2015 tentang standar kompetensi tim ahli cagar budaya. Untuk dapat lulus kompetensi ini juga tidak mudah karena harus ada ahli arkeologi di dalam tim tersebut, yang mana jarang didapati di daerah. Ketika suatu benda belum ditetapkan sebagai cagar budaya maka resiko perusakan terhadapnya semakin besar karena tidak dilindungi oleh hukum.
Walaupun proses pemetaan telah berjalan dengan baik dan tim ahli cagar budaya telah terbentuk, namun apabila kepala daerah kurang memiliki kepedulian terhadap pelestarian cagar budaya, maka objek diduga cagar budaya yang telah direkomendasikan oleh Tim Ahli Cagar Budaya itu bisa jadi mangkrak dan tidak ditetapkan oleh Kepala Daerah. Dalam situasi seperti ini lah cagar budaya menjadi rentan terhadap perusakan.
Tantangan berikutnya setelah Cagar Budaya ditetapkan oleh kepala daerah adalah mensosialisasikannya kepada masyarakat baik melalui kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah ataupun melalu seminar-seminar. Adalah suatu kenyataan kurikulum muatan lokal kurang mengakomodir cagar budaya di daerah dan seminar-seminar hampir tidak pernah dilakukan, sehingga proses sosialisasi ini terhambat. Akibatnya masyarakat melupakan cagar budaya tersebut dan generasi muda tidak mengetahui keberadaannya karena tidak diajarkan sejak dini di sekolah. Dalam situasi ini juga cagar budaya menjadi rentan mengalami perusakan-perusakan.
Demikianlah mengenai pelestarian Cagar Budaya dan tantangan yang dihadapinya. Tindakan perusakan terus terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di Indonesia. Upaya pemerintah untuk melindunginya melalui undang-undang No.11 tahun 2010 memiliki kendala-kendala teknis antara lain proses pemetaan objek diduga cagar budaya yang tidak lengkap dan lambat, pembentukan tim ahli cagar budaya yang rumit, kepala daerah yang kurang perduli dengan pelestarian cagar budaya dan proses sosialisasi yang tidak memadai.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, peran serta masyarakat perlu ditingkatkan dalam pelestarian cagar budaya, pemerintah perlu menyekolahkan Sumber Daya Manusia di daerah untuk dipersiapkan menjadi anggota Tim Ahli Cagar Budaya, Calon Kepala Daerah harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pelestarian cagar budaya dan sekolah-sekolah diwajibkan mengajarkan tentang cagar budaya di daerah kepada siswanya melalui mata pelajaran/kurikulum muatan lokal.
Semoga tulisan ini dapat mendorong para pembaca untuk dapat berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya di sekitarnya agar terhindar dari perusakan perusakan baik karena alasan politik maupun ekonomi. Harapannya pelestarian cagar budaya juga diikuti dengan pelestarian budaya tak benda yang telah diatur dalam undang-undang no. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, yang mana objeknya tradisi lisan manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
(Teguh S)