(Aktivis.co.id)Korupsi di Indonesia telah menjelma menjadi hantu yang tidak hanya menghantui gedung-gedung kekuasaan di pusat kota, tetapi juga menyusup ke pelosok desa. Ia merayap pelan namun pasti ke dalam dana pembangunan desa, anggaran sekolah, pengadaan puskesmas, bahkan bansos untuk masyarakat miskin. Tantangan terbesarnya bukan lagi hanya soal keberanian aparat penegak hukum, tetapi juga soal kemitraan: bagaimana rakyat dan negara bisa berjalan beriringan untuk membongkar korupsi dari akar.
Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan sikapnya. Melalui Asta Cita, visi besar menuju Indonesia Emas 2045, Presiden menyerukan perang terhadap korupsi bukan hanya di panggung nasional, tetapi juga di jalan-jalan kampung.
Presiden Prabowo menegaskan kepada Kepala Kejaksaan Agung dan jajaran Kejaksaan di setiap daerah di Indonesia agar tidak hanya menindak pelaku korupsi dari kalangan luar, tapi juga membersihkan institusinya sendiri. Tidak boleh ada jaksa yang bermain proyek. Tidak boleh ada kompromi.
Instruksi ini bukan sekadar wacana. Kepala Kejaksaan Negeri Republik Indonesia bahkan telah menyampaikan peringatan keras: jaksa diseluruh daerah yang ketahuan menyalahgunakan kekuasaan akan langsung dicopot. Ini adalah langkah penting untuk merestorasi kepercayaan publik. Namun langkah ini akan sia-sia jika masyarakat tetap takut, bungkam, dan apatis.
Warga sering kali menjadi saksi pertama praktik korupsi di level terbawah. Tapi banyak dari mereka ragu untuk melapor. Ada yang takut mendapat ancaman, ada yang bingung dengan prosedur hukum, dan tak sedikit pula yang pesimis karena merasa laporannya akan diabaikan. Maka sudah waktunya institusi kejaksaan tidak hanya menunggu laporan datang, tetapi aktif turun ke lapangan, menyapa warga, dan membangun kepercayaan.
Kemitraan kejaksaan dan rakyat adalah kunci. Posko aduan bisa dibuat di balai desa. Penyuluhan hukum bisa digelar rutin di sekolah, masjid, atau posyandu. Tokoh adat dan pemuda bisa dilibatkan sebagai agen pelapor dan penjaga integritas desa. Semua ini bukan sekadar strategi teknis, tetapi bentuk nyata dari justice partnership yang menjadikan keadilan sebagai urusan bersama.
Dalam setahun terakhir, Kejaksaan Agung telah menunjukkan taringnya dengan membongkar skandal besar: kasus korupsi timah, proyek-proyek bernilai triliunan rupiah, dan banyak lagi. Tapi perjuangan ini tak akan lengkap jika kita membiarkan “korupsi kecil” di kampung-kampung terus bersembunyi di balik sunyi.
Gerakan antikorupsi harus menyeluruh. Dari kota besar hingga dusun terpencil, masyarakat harus menjadi bagian dari sistem pengawasan. Kejaksaan, pada gilirannya, harus menjadi institusi yang bukan hanya ditakuti, tetapi juga dipercaya.
Di sinilah relevansi Asta Cita kembali mengemuka. Visi besar pemerintahan Prabowo-Gibran bukan hanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kekuatan militer, tetapi juga integritas dan pemerataan. Salah satu dari delapan poin Asta Cita adalah pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi. Tapi bagaimana desa bisa maju jika anggaran terus dibocorkan?
Korupsi yang menyasar dana desa, BLT, atau proyek irigasi bukan hanya kejahatan administratif,itu adalah pengkhianatan terhadap hak rakyat. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi di akar rumput menjadi prasyarat bagi terwujudnya pembangunan yang adil dan berkelanjutan agar sejalan dengan 8 program Asta Cita sehingga jalan menuju Indonesia bersih, adil dan bijaksanah.
Adapun program Asta Cita presiden dan wakil presiden RI mencakup delapan misi besar:
1. Memperkokoh Ideologi Pancasila dan HAM
2. Memantapkan sistem pertahanan dan ketahanan nasional
3. Menciptakan lapangan kerja dan penguatan UMKM
4. Mengembangkan SDM dan kesetaraan gender
5. Mendorong hilirisasi dan industrialisasi
6. Membangun dari desa untuk pemerataan ekonomi
7. Melakukan reformasi hukum, politik, dan pemberantasan korupsi
8. Menciptakan harmoni lingkungan dan toleransi beragama
Dari delapan poin tersebut, poin keenam dan ketujuh paling relevan untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi dari bawah. Tanpa tata kelola yang bersih, mimpi Indonesia Emas hanya akan menjadi slogan kosong.
Saatnya Rakyat Berperan lewat momentum politik sudah mendukung. Kejaksaan telah menunjukkan itikad. Kini bola ada di tangan rakyat. Sudah waktunya kita berhenti hanya mengeluh. Warga harus berani, tapi negara juga harus hadir dan melindungi. Ini bukan sekadar urusan aparat penegak hukum, ini soal masa depan bangsa.
Kita tidak sedang melawan individu. Kita sedang melawan budaya korup. Dan satu-satunya cara mengalahkannya adalah dengan solidaritas: antara rakyat dan penegak hukum, antara desa dan kota, antara pemimpin dan yang dipimpin.
Jika kemitraan ini bisa diwujudkan, maka perintah tegas Presiden bukan hanya jadi kutipan berita tapi jadi gerakan nyata yang membongkar korupsi, dari kota hingga pelosok desa.***
Editor: Teguh S.H