GM FKPPI Kaltim Soroti Transparansi CSR Tambang pada Diskusi Warkop Season Satu

GM FKPPI Kaltim Soroti Transparansi CSR Tambang pada Diskusi Warkop Season Satu

Berita61 Dilihat

(Aktivis.co.id)-Berau,Kaltim.Isu transparansi pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tambang kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Sorotan ini semakin menguat setelah Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (GM FKPPI) Kalimantan Timur menggelar sebuah diskusi terbuka yang dihadiri puluhan peserta.

 

Kegiatan yang berlangsung pada Senin malam (1/12/25) itu dilaksanakan di Warkop Season Satu, bertempat di Café Meraki, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau. Suasana diskusi berjalan cukup dinamis, dengan hadirnya berbagai elemen masyarakat, pegiat sosial, dan pemerhati tata kelola pembangunan daerah.

 

Forum tersebut menjadi ruang awal untuk menyoroti ulang peran CSR khususnya di sektor pertambangan dalam mendukung pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Peserta diskusi menilai bahwa keterbukaan laporan, kejelasan perencanaan program, serta efektivitas pelaksanaannya selama ini masih belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi publik.

 

Kegiatan yang menyedot perhatian berbagai elemen masyarakat ini menghadirkan dua narasumber dari unsur legislatif yakni Rudi Parasian Mangunsong S.H dari Kader PDI Perjuangan dan Abdul Waris S.Sos dari Kader Demokrat.

 

Diskusi yang dipimpin Ketua GM FKPPI Kaltim, Bastian, tersebut mengusung tema Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat dan CSR sektor pertambangan di Kabupaten Berau.

 

Ketua FKPPI Kaltim Bastian, menegaskan bahwa problem utama yang ingin diangkat adalah minimnya transparansi alokasi dan realisasi CSR dari puluhan perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Berau.

 

Ia menilai kesenjangan sosial yang muncul selama ini tidak terlepas dari kurangnya akses informasi publik terhadap data CSR yang seharusnya dapat diketahui oleh masyarakat luas.

 

Acara tersebut dihadiri para pegiat sosial, tokoh masyarakat, tokoh adat, para aktivis, pegiat LSM, awak media, serta tokoh pemuda dari sejumlah kampung di berbagai kecamatan.

 

Moderator yang memimpin jalannya diskusi dinilai mampu menjaga dinamika sehingga berbagai gagasan dan kritik dapat tersampaikan secara terbuka.

 

Dalam pemaparannya, Bastian menjelaskan bahwa berdasarkan data yang ia peroleh, implementasi CSR pertambangan di Berau masih jauh dari prinsip keterbukaan. Ia menilai masyarakat perlu mengetahui secara jelas mana program yang menggunakan dana CSR, mana kegiatan yang bersumber dari APBD, serta apa yang berasal dari hibah pusat. Menurutnya, ketidakjelasan tersebut telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan tambang.

 

Suasana forum semakin menghangat ketika Abdul Waris memaparkan temuan dan data yang ia miliki terkait mekanisme perhitungan CSR, terutama perusahaan besar seperti PT Berau Coal. Waris menjelaskan bahwa dalam salah satu SK Bupati sebelumnya, nilai CSR perusahaan tersebut pernah tercantum sekitar 60 hingga 70 miliar rupiah. Namun ia menyebut bahwa sekitar 50 miliar dari nilai tersebut dihitung sebagai CSR melalui pemberian batubara kalori rendah kepada PLTU pada masa ketika Berau mengalami krisis listrik.

 

Menurut Waris, batubara kalori rendah itu sebenarnya adalah sisa hasil tambang yang tidak dapat digunakan oleh perusahaan dan kemudian diberikan kepada PLTU. Pola ini dahulu dianggap sebagai bagian dari kontribusi CSR. Namun setelah adanya perubahan regulasi dari Kementerian ESDM, mekanisme tersebut tidak diperbolehkan lagi karena bantuan batubara gratis kepada PLTU akan dihitung dalam besaran royalti. Kondisi tersebut membuat perusahaan tidak bisa lagi menggunakan skema CSR dalam bentuk pemberian batubara gratis. Waris menilai perubahan regulasi inilah yang kemudian mempengaruhi struktur biaya perusahaan tambang dan berdampak pada beban yang ditanggung PLTU maupun IPB.

 

Dalam forum itu pula, Waris mengurai komposisi perusahaan di Berau yang didominasi perkebunan sawit, pabrik pengolahan, hotel, serta perusahaan kecil lainnya. Meski demikian, perusahaan tambang tetap menjadi penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah.

 

Waris menyebut PT Berau Coal sebagai salah satu perusahaan dengan wilayah konsesi terluas, meski secara produksi masih di bawah Kaltim Prima Coal atau KPC. Namun naiknya harga batubara dalam dua hingga tiga tahun terakhir membuat produksi meningkat dan berdampak pada naiknya dana bagi hasil untuk Berau yang mencapai sekitar tiga triliun rupiah. Ia menegaskan bahwa sebagian besar dana tersebut berasal dari kontribusi perusahaan tambang.

 

Sementara itu, Rudi Parasian Mangunsong dalam tanggapannya menyambut baik seluruh kritik dan aspirasi masyarakat. Ia menegaskan bahwa DPRD telah menjalankan fungsi pengawasan berdasarkan regulasi. Namun ia juga mengakui bahwa masih banyak ruang perbaikan dalam hal pengawasan dan transparansi CSR. Rudi bahkan menyatakan kesiapannya bersama lembaga DPRD untuk mendorong pembentukan panitia khusus atau pansus guna memastikan kejelasan data CSR yang diterima masyarakat lingkar tambang.

 

Rudi menekankan pentingnya satu persepsi bersama antara masyarakat, pemerintah daerah, dan DPRD. Menurutnya, warga di kampung sekitar lingkar tambang seperti Gunung Tabur, Teluk Bayur dan Segah serta kampung lainnya berhak mengetahui berapa besar nilai CSR yang seharusnya mereka terima. Ia menegaskan bahwa DPRD siap mendorong transparansi total sepanjang aspirasi masyarakat disampaikan secara objektif dan tidak berkembang menjadi persepsi liar di lapangan.

 

Sesi tanya jawab yang berlangsung cukup panjang menampilkan berbagai kritik dan pertanyaan tajam dari peserta kepada para narasumber. Nama PT Berau Coal kembali menjadi sorotan karena perannya sebagai perusahaan tambang terbesar yang beroperasi di wilayah Berau. Peserta forum menuntut penjelasan yang lebih akurat mengenai struktur CSR perusahaan, realisasi program, hingga mekanisme pendistribusiannya kepada masyarakat kampung.

 

Selain PT Berau Coal, sejumlah peserta juga mempertanyakan kontribusi perusahaan tambang lainnya baik yang berstatus legal maupun yang diduga semi legal. Bahkan sektor lain seperti perkebunan sawit, perhotelan, dan perbankan ikut menjadi sorotan karena dinilai belum menunjukkan transparansi program CSR yang memadai.

 

Pada forum tersebut, salah satu warga menegaskan perlunya DPRD melakukan evaluasi mendalam terhadap pola penyerapan tenaga kerja. Peserta meminta pemerintah daerah memperkuat regulasi agar tenaga kerja lokal mendapatkan prioritas dalam proses rekrutmen.

 

Pimpinan dialog menegaskan bahwa seluruh aspirasi warga akan ditindaklanjuti dalam rapat bersama perusahaan dan instansi terkait. Evaluasi terhadap program PPM serta mekanisme perekrutan tenaga kerja disebut sebagai agenda penting demi memastikan kehadiran perusahaan benar benar memberikan manfaat untuk masyarakat Berau.

 

Beberapa penanya lainnya menyampaikan pernyataan bahwa pemerintah perlu melakukan perbaikan total terhadap implementasi CSR dengan mendesak perusahaan agar berkolaborasi bersama DPRD. Mereka menegaskan bahwa dasar regulasi seperti Undang Undang Dasar 1945, peraturan kementerian, serta Perda tentang CSR harus dipegang teguh.

 

Peserta juga menyoroti perlunya pengawasan terhadap pelayanan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Mereka menilai pembuatan kartu tanda penduduk bagi pendatang yang mencari pekerjaan di Berau harus mengikuti regulasi agar asas keadilan dan transparansi tetap ditegakkan.

 

Pada kesempatan itu, GP FKPPI Kaltim menegaskan bahwa rangkaian diskusi ini tidak akan berhenti pada satu pertemuan saja. Organisasi ini akan membentuk grup diskusi permanen yang menjadi basis koordinasi antarpeserta, narasumber, tokoh masyarakat, dan pegiat sosial.

 

Grup diskusi tersebut akan menjadi ruang pertukaran data, informasi lapangan, dan gagasan yang lebih terstruktur sehingga seluruh isu yang muncul dalam forum pertama dapat ditindaklanjuti dengan lebih presisi.

 

FKPPI juga mengumumkan rencana besar untuk menggelar Diskusi Warkop Season Dua di Kabupaten Berau dengan jumlah peserta yang lebih banyak. Diskusi lanjutan itu akan melibatkan akademisi, tokoh adat, praktisi hukum, hingga perwakilan perusahaan.

 

Ruang dialog yang lebih luas tersebut penting untuk memastikan bahwa suara masyarakat tidak hanya berhenti sebagai bahan diskusi, tetapi menjadi dorongan nyata bagi lahirnya kebijakan publik yang lebih adil dan transparan.

 

FKPPI menegaskan bahwa forum ini memiliki pertanggungjawaban penuh pada panitia penyelenggara GP FKPPI Kaltim. Setiap informasi, data, dan rangkuman aspirasi yang muncul dicatat secara resmi untuk kebutuhan publikasi dan advokasi.

 

Penegasan tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa penyelenggaraan acara berada dalam koridor hukum, etika organisasi, serta sesuai tujuan utama forum yaitu memperkuat ruang demokrasi di tingkat lokal.

 

Berbagai data yang diperoleh dari jalannya diskusi seperti dokumen foto, video, rekaman pernyataan narasumber, kritik, dan gagasan peserta akan digunakan sebagai bahan publikasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

 

FKPPI menekankan bahwa setiap bentuk kritik maupun saran dari peserta forum merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat yang telah dijamin oleh konstitusi.

 

Dalam penyampaiannya, panitia mengutip Pasal 28E ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. Penegasan ini memberi dasar konstitusional bagi forum publik seperti ini.

 

Panitia menjelaskan bahwa seluruh materi diskusi baik pendapat yang mendukung maupun kritik keras terhadap perusahaan tambang, perkebunan, perhotelan, ataupun sektor perbankan dilindungi sebagai ekspresi yang sah dalam negara demokrasi.

 

FKPPI juga menegaskan bahwa di tengah maraknya disinformasi, forum seperti ini harus menjadi contoh bagaimana dialog publik dapat berlangsung secara beretika, terbuka, dan berbasis data.

 

Untuk menjaga keseimbangan pemberitaan, redaksi Literasi Aktual menegaskan bahwa pihaknya membuka ruang klarifikasi bagi seluruh pihak yang disebutkan dalam diskusi.

 

Redaksi memastikan bahwa setiap pihak yang merasa perlu memberikan tanggapan akan diberi kesempatan untuk menyampaikan klarifikasi secara proporsional.

 

Peserta forum menyambut baik keputusan tersebut karena transparansi pemberitaan merupakan bagian dari upaya memperbaiki tata kelola CSR serta hubungan antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan.

 

Beberapa tokoh masyarakat menilai bahwa langkah FKPPI membuka pintu diskusi lanjutan menunjukkan kematangan organisasi dalam mengelola ruang aspirasi publik.

 

Seorang pegiat sosial menilai bahwa forum serupa perlu diperluas hingga ke kecamatan lainnya agar masyarakat di wilayah terluar juga memiliki kesempatan menyampaikan suara mereka.

 

Ada pula usulan agar dokumentasi video dari forum pertama dijadikan arsip publik yang dapat diakses melalui kanal resmi FKPPI atau mitra media agar masyarakat yang tidak hadir tetap dapat mengikuti jalannya diskusi.

 

Menurut sejumlah peserta, publikasi yang transparan tidak hanya memperkuat kredibilitas penyelenggara tetapi juga menjadi alat pendidikan politik bagi masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam pengawasan kebijakan publik.

 

FKPPI menambahkan bahwa hasil diskusi ini akan dijadikan rekomendasi tertulis yang diserahkan kepada DPRD Berau, Pemerintah Kabupaten Berau, dan perwakilan perusahaan sebagai dasar pertemuan formal berikutnya.

 

Usulan lainnya datang dari kalangan pemuda yang mendorong agar forum berikutnya dilengkapi dengan sesi pelatihan teknis seperti membaca data CSR, analisis anggaran, serta pelaporan publik.

 

Peserta juga meminta agar kelompok diskusi yang dibentuk FKPPI mengundang lebih banyak ahli hukum tata negara serta pakar ekonomi pembangunan agar isu yang dibahas semakin kaya.

 

Dalam pandangan akademisi yang hadir, pembentukan forum permanen menjadi langkah strategis untuk menjembatani jurang informasi antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat.

 

Sejumlah pemuda menekankan bahwa forum yang dibangun harus tetap independen, terbuka, dan dijalankan dengan integritas agar tidak mudah dipengaruhi kepentingan politik.

 

Selain itu, muncul gagasan agar FKPPI membuat laporan tahunan yang merangkum seluruh kegiatan dialog publik termasuk temuan persoalan, rekomendasi solusi, dan tindak lanjut pihak terkait.

 

Tuntutan agar forum diberi ruang lebih luas tak lepas dari banyaknya aspirasi yang belum sempat disampaikan akibat keterbatasan waktu.

 

Peserta menilai bahwa bila ruang dialog diperluas, pembahasan dapat lebih dalam menyentuh isu turunan seperti dampak lingkungan, konflik agraria, pengawasan tambang semi legal, dan hubungan keuangan antara perusahaan dan lembaga keuangan.

 

FKPPI menyatakan kesiapannya untuk mengakomodasi seluruh usulan tersebut dan berkomitmen menjadikan Diskusi Season Dua sebagai forum yang lebih komprehensif.

 

Para peserta yakin bahwa gerakan ini akan membuka jalan bagi keterlibatan lebih banyak warga kampung terutama dari kecamatan yang selama ini jarang tersentuh diskusi kebijakan publik.

 

Beberapa tokoh adat menyampaikan dukungan agar forum lanjutan juga membahas aspek budaya dan hak masyarakat adat yang terdampak aktivitas industri namun kurang dilibatkan.

 

FKPPI menyambut baik seluruh pandangan dan berjanji memperluas cakupan isu pada diskusi berikutnya agar semakin banyak sektor dapat dibahas secara objektif.

 

Pada penutupan agenda, organisasi ini menegaskan bahwa perjuangan memperbaiki tata kelola CSR bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau perusahaan tetapi merupakan gerakan bersama.

 

Dengan demikian, forum ini dinilai telah menjadi tonggak baru bagi masyarakat untuk berbicara lebih terbuka, mengawasi kebijakan dengan lebih percaya diri, dan menuntut hak sosial ekonomi yang selama ini belum terpenuhi.

 

Diskusi berakhir dengan semangat bahwa transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada masyarakat harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan industri ekstraktif serta sektor sektor ekonomi lainnya di Kabupaten Berau.***

Editor: Teguh S.H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *