Kesenjangan Sosial di Pulau Balikukup: Ketika Bantuan Sosial Hanya Jadi Slogan Keadilan

Kesenjangan Sosial di Pulau Balikukup : Ketika Bantuan Sosial Hanya Jadi Slogan Keadilan

Opini8 Dilihat

Opini, Oleh: Setia

(Aktivis.co.id) Di balik megahnya jargon “Negara Hadir untuk Rakyat”, terselip kisah getir dari sebuah desa terpencil di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Balikkukup.

Desa ini menjadi potret sunyi tentang bagaimana sistem bantuan sosial di negeri ini kerap berhenti di tataran janji, bukan pada kenyataan.

Selama bertahun-tahun, puluhan keluarga di Balikkukup hidup dalam kemiskinan ekstrem, jauh dari sentuhan program pemerintah yang setiap tahun digembar-gemborkan.

Bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT), diduga kuat tidak pernah benar-benar sampai kepada mereka yang paling membutuhkan.

Warga menyebut, data penerima bantuan kerap “berputar di orang-orang yang sama”. Nama-nama baru yang sebenarnya lebih layak, tetap tertinggal di daftar tunggu tanpa kepastian.
Fenomena ini bukan lagi sekadar kesalahan teknis. Ini adalah luka kemanusiaan yang menandakan lemahnya integritas di tingkat pemerintahan paling bawah.

“Kami sudah didata berulang kali, tapi bantuan tak pernah datang. Yang dapat malah orang-orang dekat aparat kampung,” ujar salah satu warga yang kami samarkan identitasnya.

Pernyataan itu menohok sekaligus menyingkap sebuah realitas pahit: nepotisme masih hidup di jantung program sosial kita.
Ketika bantuan negara menjadi alat kekuasaan di level desa, maka keadilan sosial hanya tinggal slogan di baliho kementerian.

Lebih menyedihkan lagi, ada warga Balikkukup yang meninggal dunia tanpa pernah menerima bantuan kematian yang secara resmi dijanjikan pemerintah.

Ada pula korban kebakaran yang kehilangan rumah, tapi tak tersentuh bantuan apa pun, meskipun sudah didata.
Jika bantuan kemanusiaan yang paling mendasar saja bisa “menguap”, maka kita patut bertanya: di mana nurani birokrasi itu bersembunyi?

Kasus Balikkukup sejatinya mencerminkan anomali besar dalam sistem pendataan dan distribusi bansos nasional.
Digitalisasi data sering digembar-gemborkan, namun akurasi dan pengawasan di lapangan masih jauh dari kata bersih.

Ketika data tidak diawasi secara independen, maka korupsi bisa lahir bukan hanya dari uang, tetapi juga dari manipulasi daftar penerima manfaat.

Jeritan warga Balikkukup seharusnya menjadi alarm moral bagi negara.
Sudah saatnya Kementerian Sosial, Inspektorat Daerah, dan penegak hukum turun tangan melakukan audit menyeluruh terhadap data dan distribusi bantuan sosial di tingkat desa.

Bantuan publik bukan sekadar angka di APBN, melainkan amanah rakyat yang menuntut pertanggungjawaban.

Negara tidak akan runtuh oleh kemiskinan, tetapi oleh ketidakadilan yang dibiarkan.
Dan Balikkukup adalah salah satu cermin paling jujur dari bagaimana ketimpangan sistemik dapat tumbuh di bawah hidung pemerintah tanpa ada yang sungguh-sungguh peduli.

Keadilan sosial tidak akan lahir dari data yang dipoles, tetapi dari keberanian moral untuk membersihkan sistem
Jika pemerintah benar ingin membangun bangsa dari pinggiran, maka suara warga Balikkukup harus didengar, bukan dibungkam oleh alasan klasik: “menunggu anggaran berikutnya.”

Karena di balik angka-angka kemiskinan itu, ada manusia yang hidup dan menunggu keadilan yang seharusnya sudah lama datang.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *