“Aliansi Masyarakat Adat Kaltara Serukan Aksi Damai 4 Agustus: Tolak Transmigrasi dalam RPJMN

"Aliansi Masyarakat Adat Kaltara Serukan Aksi Damai 4 Agustus: Tolak Transmigrasi dalam RPJMN

Nasional14 Dilihat

(Aktivis.co.id) Kaltara — Aliansi Masyarakat Adat Asli Kalimantan Utara (AMDKU) akan menggelar aksi solidaritas untuk menolak program transmigrasi yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Aksi ini dijadwalkan berlangsung pada Senin, 4 Agustus 2025, dan akan melibatkan sekitar 1.000 peserta dari 36 organisasi masyarakat dan lembaga adat di seluruh wilayah Kalimantan Utara (Kaltara).

Menurut rencana, aksi akan digelar di dua titik utama, yakni Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Utara dan Kantor DPRD Provinsi Kaltara di Tanjung Selor. Para peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat masing-masing, seperti Dayak, Tidung, dan Bulungan, sebagai simbol keberagaman dan keharmonisan budaya lokal yang telah lama hidup berdampingan.

Aksi akan diawali dengan ritual adat, sebagai bentuk doa bersama untuk keselamatan dan perlindungan Kalimantan Utara dari Tuhan Yang Maha Esa. Motto aksi yang diusung adalah:
“Katalino Bacuramin Kasaruga Basengat Kajubata”, yang mencerminkan semangat hidup harmonis dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat.

Aktivis senior Kalimantan Utara, Joko Supriyadi, menyatakan dukungan penuhnya terhadap gerakan ini. Ia menilai transmigrasi bukan sekadar soal perpindahan penduduk, tetapi bentuk ancaman terhadap masa depan masyarakat adat.

“Transmigrasi bukan hanya soal perpindahan penduduk, tapi soal masa depan tanah dan identitas kami. Jika masyarakat adat tidak bersuara hari ini, maka besok kita hanya akan menjadi penonton di tanah sendiri,” tegasnya.

 

Joko juga menyoroti ketimpangan kebijakan pemerintah yang dianggap lebih memihak kepada warga luar daerah.

“Ketidakadilan itu sangat terlihat. Pemerintah begitu perhatian kepada warga dari luar daerah mereka diberikan lahan, dibangunkan tempat tinggal yang layak. Sementara banyak generasi asli di Kalimantan Utara yang hingga hari ini belum punya lahan tempat tinggal sendiri,” tambahnya.

 

Dukungan terhadap aksi ini juga datang dari kalangan akademisi dan intelektual. Ketua Forum Intelektual Kalimantan Utara menyebut bahwa perjuangan masyarakat adat melawan transmigrasi harus menyasar akar persoalan.

“Berkaca dari perjuangan para pendahulu, untuk melawan kolonialisme, tidak cukup hanya menolak di hilirnya, tapi perlu blokade di hulunya juga,” ujarnya.

 

Forum tersebut mengusulkan tiga tuntutan strategis kepada pemerintah pusat dan daerah:

1. Membubarkan kementerian atau dinas yang mengurusi program transmigrasi, karena dianggap sudah tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.

2. Membatalkan seluruh program revitalisasi transmigrasi dalam RPJMN 2025–2029, karena dinilai memperluas ketimpangan dan mengancam hak masyarakat lokal.

3. Mengalihkan dana APBN dan APBD dari program transmigrasi ke pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat lokal, khususnya di wilayah pedalaman dan pesisir.

 

Pihaknya menekankan bahwa alokasi anggaran negara harus difokuskan pada pembangunan nyata yang dibutuhkan masyarakat adat, seperti jalan menuju Binai, Peso, Krayan, serta infrastruktur kebudayaan, pelabuhan rakyat, listrik, sinyal, sekolah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas dasar lainnya yang hingga kini masih minim di desa-desa lokal.

Penolakan terhadap program transmigrasi ini didasari oleh kekhawatiran akan tergerusnya budaya lokal, konflik kepentingan antarwarga, dan kerusakan lingkungan, akibat tekanan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan daya dukung wilayah.

Aksi 4 Agustus ini dirancang sebagai gerakan damai dan terbuka, serta ditegaskan tidak ditunggangi oleh kepentingan politik praktis. AMDKU menyerukan kepada pemerintah pusat untuk membuka ruang dialog yang adil dan terbuka dengan masyarakat adat sebelum melanjutkan kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan mereka.***

Editor: Teguh S.H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *