Pekanbaru, (Aktivis.co.id) – Dalam perjalanan panjang sastra Indonesia, nama Chairil Anwar muncul sebagai sosok yang tak tergantikan. Ia bukan sekadar penyair, melainkan simbol pembaruan puisi Indonesia pascakemerdekaan. Sebagai tokoh sentral Angkatan ’45, Chairil membawa gaya baru: bahasa yang lugas, ekspresi individualisme yang kuat, dan semangat zaman yang bergolak.
Melalui karya-karya seperti “Aku”, “Diponegoro”, dan “Karawang-Bekasi”, Chairil mengukir warisan abadi. Puisinya berbicara tentang perjuangan, eksistensi, dan kebebasan—tema-tema yang membentuk jiwa bangsa. Tak heran jika hingga kini, puisinya tetap diajarkan, dibacakan, dan dijadikan sumber inspirasi lintas generasi.
Mengapa 28 April Dipilih Sebagai Hari Puisi Nasional?
Pemilihan 28 April sebagai Hari Puisi Nasional bukan tanpa alasan. Tanggal ini adalah hari wafat Chairil Anwar, yang dianggap sebagai momentum untuk merenungkan dan menghargai kontribusi besarnya bagi dunia sastra Indonesia.
Awalnya, terdapat usulan untuk menetapkan tanggal lahir Chairil, 26 Juli, sebagai hari peringatan. Namun akhirnya, masyarakat sastra memilih hari berpulangnya sang penyair, sebagai bentuk penghormatan sekaligus refleksi terhadap semangat dan perjuangannya.
Hari Puisi Nasional kini menjadi momen penting untuk menumbuhkan kembali rasa cinta terhadap puisi di tengah masyarakat modern.
Baca juga
Hari Lupus Sedunia 2023: Tema, Twibbon, dan Sejarah Peringatan
Dua Hari Besar Puisi: Apa Bedanya?
Selain Hari Puisi Nasional, Indonesia juga memiliki Hari Puisi Indonesia yang dideklarasikan pada 22 November 2012 dalam pertemuan para penyair nasional di Pekanbaru, Riau. Hari Puisi Indonesia kemudian diperingati setiap 26 Juli, bertepatan dengan hari kelahiran Chairil Anwar.
Meski ada dua tanggal penting, keduanya memiliki semangat yang sama: menghormati puisi sebagai bagian dari identitas budaya bangsa, serta menghargai jasa para penyair yang telah memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Menyemai Kembali Cinta pada Puisi
Peringatan Hari Puisi Nasional setiap 28 April bukan sekadar mengenang sosok Chairil Anwar, tetapi juga menghidupkan kembali apresiasi masyarakat terhadap puisi. Di tengah dunia yang semakin digital dan serba cepat, puisi tetap menjadi media untuk merenung, menyuarakan kegelisahan, dan mengekspresikan jiwa.
Sebagaimana Chairil pernah berteriak lantang dalam puisinya, “Aku ini binatang jalang,” maka semangat liar, bebas, dan penuh keberanian itu seharusnya tetap hidup dalam diri setiap pecinta sastra.
Dengan mengenang Chairil, kita tak hanya merayakan seorang penyair, tetapi juga menjaga nyala api kreativitas bangsa.
“Puisi adalah suara hati bangsa. Mari kita terus merangkai kata, merawat makna.”