PEKANBARU, aktivis.co.id – Suasana depan Mal Pelayanan Publik (MPP) Pekanbaru mendadak riuh pada Minggu (23/11) pagi. Puluhan guru berkumpul untuk memadati MPP dalam rangkai aksi damai menolak Pelantikan dan Pengukuhan Pengurus Baru Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Pekanbaru. Aksi ini menjadi puncak dari keresahan yang selama tiga pekan terakhir menyelimuti tubuh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Pekanbaru, buntut dari kisruh pemilihan ketua organisasi tersebut yang dinilai sarat kecacatan prosedur.
Seorang guru bernama Eko menjadi yang pertama angkat suara di hadapan media. Dalam pernyataannya, ia meminta agar walikota Pekanbaru menaruh atensi penuh atas kisruh. “Kami hadir hari ini karena ingin karena kami meminta agar pelantikan dan pengukuhan PGRI Kota Pekanbaru yang baru segera ditunda. Lakukan pemilihan ulang sesuai AD/ART. Ini suara guru-guru akar rumput,” ujarnya. “Kami minta Wali Kota tidak menghadiri pelantikan besok. Dengarkan aspirasi kami.”
Guru lainnya, Ashari, turut menyampaikan penilaian yang bahkan lebih keras.
“Keberadaan PGRI kota Pekanbaru saat ini cacat hukum sejak awal. Ketua cabang yang sah malah di-PLT-kan sepihak. Tidak ada perwakilan kepala sekolah dari Dinas Pendidikan. Kami minta Wali Kota segera ambil alih,” katanya, disambut riuh dukungan dari para guru.
Aksi ini bukan hanya suara spontan. Ini adalah gelombang lanjutan dari penolakan beruntun yang muncul sejak Konferensi PGRI Kota Pekanbaru pada 3 November 2025. Pada konferensi itu, Miftahudin, M.Pd.I, ditetapkan sebagai Ketua PGRI Kota Pekanbaru periode 2025–2030 yang menimbulkan badai kritikan
Narasi penolakan bermula saat sejumlah ketua PGRI cabang di Pekanbaru secara resmi menyatakan bahwa konferensi tersebut cacat prosedur. Mereka menyebut prosesnya dipenuhi pelanggaran mekanisme organisasi, antara lain, Kepengurusan cabang yang sah di-PLT-kan sepihak tanpa koordinasi, Penunjukan Plt. Cabang yang dilakukan secara mendadak, bahkan kepada orang yang tidak pernah menjadi pengurus PGRI cabang.
Selain itu, masih terdapat beberapa kejanggalan lainnya. Adanya peserta yang mengaku ditunjuk menjadi Plt. Cabang hanya lewat telepon pada hari pelaksanaan, konferensi dilakukan secara senyap dan tidak diberitakan untuk menghindari penolakan, serta pengurus cabang yang sah tidak dilibatkan dalam proses konferensi.
Koordinator Isu Bem Riau Bersatu, Gusti Pardamean Nasution, S. Pd. turut mengomentari hal ini. Menurutnya, kejadian ini merupakan kejadian yang memalukan dan mencoreng etika profesi guru.
“Kita sungguh sangat malu karena kejadian ini bisa terjadi di profesi guru. Guru yang seharusnya ditiru oleh para murid-muridnya dan dijadikan panutan malah melakukan perbuatan tidak pantas dan tidak senonoh ini, yaitu berebut jabatan. Saya mendesak Walikota Pekanbaru sebagai pembina PGRI Kota Pekanbaru untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.
Aksi turun ke jalan hari ini menunjukkan bahwa masalah tak lagi dapat diselesaikan lewat ruang internal organisasi. Guru-guru kini meminta reset total berupa pengulangan proses, keterlibatan kepengurusan sah, serta jaminan transparansi penuh.
Dengan pelantikan yang dijadwalkan keesokan harinya (24/11), bola panas kini berada di tangan Wali Kota Pekanbaru: apakah akan mengikuti agenda pelantikan atau mendengar suara para guru yang merasa rumah organisasinya kini tidak lagi aman.
Konflik PGRI Kota Pekanbaru tampaknya masih jauh dari usai, namun aksi hari ini menjadi penanda bahwa guru-guru tidak siap menyerahkan masa depan organisasinya kepada praktik-praktik yang mereka nilai tidak adil dan tidak sah.






