(Aktivis.co.id)Berau, Kalimantan Timur-Pengelolaan persediaan obat di puskesmas dan puskesmas pembantu di Kabupaten Berau kembali menjadi sorotan tajam setelah terungkap adanya kelalaian administrasi berskala besar yang menimbulkan kerugian akuntabilitas keuangan daerah.
Laporan terbaru menunjukkan bahwa stok obat senilai lebih dari satu miliar rupiah tidak tercatat dalam neraca resmi pemerintah daerah, memunculkan dugaan kuat adanya pelanggaran tata kelola dan lemahnya pengawasan internal Dinas Kesehatan.
Investigasi menemukan bahwa sistem pencatatan persediaan obat dan bahan medis habis pakai di lapangan masih jauh dari standar yang ditetapkan. Lima puskesmas dan pustu yang menjadi sampel uji petik menunjukkan ketidaksesuaian data yang signifikan. Stok yang dicatat secara internal oleh petugas farmasi tidak pernah diteruskan ke Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah untuk dimasukkan ke laporan keuangan pemerintah daerah.
Data resmi menyebutkan nilai persediaan yang tidak dilaporkan hingga 31 Desember 2023 mencapai Rp1.146.366.510,58 yang tersebar di 21 puskesmas dan pustu. Temuan ini memperkuat indikasi adanya kesalahan sistemik, bukan sekadar kelalaian teknis.
Para apoteker menyatakan bahwa mereka telah menjalankan kewajiban stock opname rutin serta menyusun Berita Acara Inventarisasi Persediaan setiap akhir periode. Namun dokumen tersebut terhenti pada level puskesmas dan tidak dilanjutkan ke struktur pencatatan aset daerah. Sementara itu, pengurus barang pembantu di Dinas Kesehatan mengaku berasumsi bahwa obat yang sudah keluar dari Instalasi Farmasi Kabupaten otomatis dianggap habis pakai. Asumsi keliru inilah yang menjadi akar utama terjadinya selisih data yang sangat besar.
Ketika dimintai keterangan resmi terkait masalah ini, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Berau memilih bungkam tanpa memberikan klarifikasi. Sikap diam ini membuat publik semakin mempertanyakan transparansi dan integritas tata kelola sektor kesehatan di daerah.
Pakar pengelolaan farmasi menyebut bahwa kesalahan administratif seperti ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga mengganggu efektivitas pelayanan kesehatan. Selisih data yang masif membuat perencanaan kebutuhan obat, distribusi, dan pengawasan stok menjadi tidak akurat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kekurangan obat di masyarakat.
Pelanggaran terhadap regulasi juga sangat jelas. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, pemerintah daerah diwajibkan menjaga akurasi, ketertiban administrasi, dan akuntabilitas pencatatan seluruh persediaan obat mulai dari tingkat instalasi farmasi hingga fasilitas pelayanan kesehatan.
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah mewajibkan seluruh perangkat daerah melaporkan persediaan secara periodik dan akurat, termasuk obat dan bahan medis yang dikelola oleh Dinas Kesehatan.
Amanah Kementerian Kesehatan juga menekankan prinsip rantai pasok obat yang transparan, terukur, dan dapat diaudit kapan pun, sesuai dengan kebijakan reformasi sistem kesehatan nasional yang mengutamakan efisiensi, keselamatan pasien, dan integritas laporan keuangan.
Temuan ini menjadi alarm keras bahwa tata kelola sektor kesehatan di Berau membutuhkan perbaikan menyeluruh. Pemerintah daerah didesak segera melakukan audit internal, memperbaiki sistem pencatatan obat, serta memastikan seluruh proses sesuai dengan standar nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dan regulasi keuangan negara.
Awak media Aktivis akan terus mengawal perkembangan dugaan ini demi menjamin pelayanan kesehatan masyarakat berjalan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.***
Editor : Teguh S.H










