Pekanbaru, aktivis.co.id – Euforia terpilihnya Miftahudin, M.Pd.I, sebagai Ketua PGRI Kota Pekanbaru untuk masa bakti 2025–2030, yang semula disambut haru dan tepuk tangan, mendadak berubah jadi bara. Hanya sehari berselang, gelombang kritik dan tudingan tajam bermunculan dari sejumlah guru yang menilai pemilihan tersebut sarat rekayasa dan tak mencerminkan semangat demokrasi.
Konferensi Cabang PGRI yang digelar di Auditorium Gedung Guru Rusli Zainal, awalnya berjalan dan berakhir dengan lancar. Miftahudi yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris PGRI Kota Pekanbaru, didorong sebagai calon tunggal dan akhirnya ditetapkan secara aklamasi.
“Terpilih secara aklamasi adalah kepercayaan besar dari seluruh rekan guru,” kata Miftahudin kepada wartawan, sembari menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan kesejahteraan guru dan peningkatan mutu pendidikan di Pekanbaru.
Namun di luar gedung, suasana jauh dari kata tenang. Pada Selasa malam (4/11), beredar luas pesan berantai di kalangan guru yang menolak hasil konferensi. Dalam pernyataan yang mengatasnamakan “Guru ASN se-Kota Pekanbaru”, mereka menuding PGRI Provinsi Riau telah “mengatur secara sistematis dan terstruktur” jalannya pemilihan untuk memastikan calon tertentu melenggang mulus.

“Mekanisme pemilihan kemarin hanya sandiwara. Kami menolak hasilnya karena penuh rekayasa. Jika tak diulang, kami akan hentikan iuran PGRI yang dipotong dari gaji setiap bulan,” tegas isi pesan itu, yang kini viral di berbagai grup percakapan guru.

Lebih jauh, para guru membeberkan dugaan adanya penunjukan sepihak terhadap Plt. Ketua PGRI Kecamatan sebagai pemegang mandat suara. Mereka menilai proses itu dilakukan tanpa transparansi dan tanpa sepengetahuan para ketua K3S di kecamatan. Tak hanya itu, mencuat pula isu tunggakan hutang organisasi hingga ratusan juta rupiah, serta dugaan campur tangan PGRI Provinsi dalam menentukan arah kepemimpinan PGRI kabupaten/kota.
Berdasarkan penelusuran aktivis.co.id, beberapa sumber di internal PGRI menyebut bahwa SK pengurus cabang di Pekanbaru sebenarnya masih berlaku hingga 2026. “Yang diundang itu bukan ketua PGRI kecamatan, tapi orang-orang yang baru dapat mandat pagi hari sebelum pemilihan. Prosesnya instan, seperti sudah diatur dari atas,” ujar salah seorang guru yang enggan disebut namanya.
Yang juga jadi sorotan adalah absennya pejabat daerah dalam pelantikan. Hanya Sekretaris Umum PGRI Provinsi Riau, Dr. Zulfikar, MM, yang hadir dan memimpin pelantikan. Langkah itu dinilai tidak lazim untuk kegiatan organisasi besar seperti PGRI, yang biasanya melibatkan perwakilan pemerintah daerah.
Konferensi yang semula diharapkan menjadi simbol penyatuan semangat guru kini justru menimbulkan perpecahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan : “apakah PGRI Kota Pekanbaru masih menjadi rumah besar perjuangan guru, atau telah berubah menjadi arena politik kecil yang dikendalikan segelintir elit?”






