Ketika Algoritma Menjadi Senjata Bungkam untuk Suara Palestina

Ketika Algoritma Menjadi Senjata Bungkam untuk Suara Palestina

Opini33 Dilihat

Oleh : Teguh S.H

(Aktivis.co.id) – Di tengah kemajuan teknologi dan dominasi media sosial, medan konflik tak lagi hanya terbentang di wilayah-wilayah yang dihujani bom, tetapi juga di dalam sistem algoritma dan kebijakan moderasi digital. Meta—perusahaan di balik Facebook dan Instagram—kini menjadi sorotan tajam karena dituding selama lima tahun terakhir secara sistematis menyaring dan menghapus konten yang mendukung Palestina.

Tudingan ini bukan isapan jempol. Sejumlah laporan dari organisasi hak asasi manusia dan hasil investigasi media internasional menunjukkan adanya pola pembungkaman yang konsisten terhadap narasi pro-Palestina. Sejak agresi Israel ke Gaza pada Mei 2021, banyak aktivis, jurnalis, dan warga biasa yang menyaksikan unggahan mereka menghilang, tanpa penjelasan transparan. Meta menyebutnya “kesalahan teknis”—alasan yang terus diulang setiap konflik meningkat, dan yang semakin lama terdengar kurang meyakinkan.

Fakta-fakta di lapangan berbicara lain. Human Rights Watch dan organisasi 7amleh melaporkan peningkatan tajam dalam jumlah konten yang disensor.

Investigasi The Intercept pada 2023 bahkan mengungkap adanya komunikasi langsung antara Meta dan otoritas Israel, yang mempercepat proses penghapusan konten. Tahun tersebut mencatat lebih dari 65.000 insiden. Tahun berikutnya, angka melonjak menjadi 90.000—rekor baru dalam sejarah moderasi digital terhadap isu Palestina.

Kondisi ini memuncak pada April 2025, saat RT Arabic merilis laporan bahwa 94% konten pro-Palestina dihapus atas permintaan entitas Israel.

Meski angka ini belum diverifikasi secara independen, tren yang terjadi dari tahun ke tahun menunjukkan arah yang sulit disangkal: ada upaya sistematis untuk mengerdilkan narasi dari pihak tertindas.

Ironisnya, sebagian besar konten tersebut ditandai sebagai “terorisme” atau “penghasutan”—dua istilah yang lentur, bisa diinterpretasikan semaunya, dan kerap digunakan untuk membungkam ekspresi yang sah. Padahal, banyak unggahan hanya berupa dokumentasi kekerasan, opini kemanusiaan, hingga bentuk solidaritas dari komunitas internasional.

Apakah ini bentuk perlindungan terhadap “standar komunitas”? Ataukah Meta sedang menjalankan sensor politis atas tekanan eksternal?

Sebagai raksasa media sosial yang memengaruhi opini publik global, Meta memiliki tanggung jawab besar. Ketika suara korban perang dan penduduk sipil di Gaza justru dilenyapkan dari ruang digital, maka Meta gagal menjalankan fungsinya sebagai ruang terbuka untuk kebebasan berekspresi.

Solusinya bukan sekadar memperbaiki algoritma. Meta harus membuka diri terhadap audit independen, menunjukkan transparansi penuh atas kebijakan moderasinya, dan memastikan bahwa konflik geopolitik tidak dijadikan alasan untuk menerapkan standar ganda.

Jika tidak, maka janji Meta tentang “komunitas global yang inklusif” hanyalah mitos ruang semu yang tak pernah benar-benar menerima suara yang menentang arus kekuasaan.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *