Ramai Perbincangan THM : Antara Ekonomi, Regulasi,Moralitas dan Nilai Budaya

Ramai Perbincangan THM : Antara Ekonomi, Regulasi,Moralitas dan Nilai Budaya

Nasional135 Dilihat

(Aktivis.co.id)-Berau,Kaltim-Jagat media sosial di Kabupaten Berau tengah ramai memperbincangkan keberadaan tempat hiburan malam (THM) yang kembali menjadi sorotan publik.

Perdebatan muncul setelah beredarnya video flexing seorang artis ibu kota di sebuah hotel, disusul isu dugaan pelanggaran izin usaha oleh salah satu THM di pusat kota Tanjung Redeb.

Sebagian netizen menilai wajar keberadaan tempat hiburan malam sebagai bagian dari geliat ekonomi daerah. “Jangan munafik, banyak pekerja yang menggantungkan hidup dari THM dari penyanyi, teknisi sound system, hingga karyawan bar,” tulis salah satu akun di media sosial.

Namun, tak sedikit pula warganet yang mengecam keras. Mereka menilai tempat hiburan malam telah merusak citra religius Berau dan membawa pengaruh negatif bagi generasi muda. “Berau ini kota santri dan daerah wisata keluarga. Kalau THM bebas beroperasi, nanti rusak moral anak-anak kita,” tulis komentar lain yang mendapat banyak dukungan.

Sebagai penulis, saya mencoba melihat persoalan ini secara utuh. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan THM di Berau juga menjadi penopang ekonomi lokal.

Selain menyediakan hiburan karaoke, tempat ini juga mempekerjakan banyak tenaga kerja, menyediakan ruang rekreasi malam bagi wisatawan, dan menggerakkan sirkulasi ekonomi dari sektor jasa, kuliner, hingga pajak hiburan.

Namun di sisi lain, adanya penjualan minuman keras dan sajian dancer di beberapa THM yang disebut sebagai “café” seringkali menimbulkan persepsi sosial.yang konon kalimat yang di lansir dari komentar netizen “Berau dikenal memiliki kultur masyarakat religius dan nilai adat yang menjunjung moralitas adat dan budaya lokal.

Jika ditelusuri lebih dalam, akar kontroversi ini justru berada pada kebijakan pemerintah sendiri. Berdasarkan Perda Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penjualan Minuman Beralkohol dan Perda Nomor 13 Tahun 2012 tentang Ketertiban Umum, setiap tempat hiburan wajib memiliki izin usaha, batas waktu operasional, dan pengawasan ketat dari instansi terkait.

Disisi lain, implementasi kebijakan ini seringkali tumpang tindih. Pemerintah memberi izin usaha hiburan malam, tetapi di sisi lain, masyarakat menolak keberadaannya. Artinya, regulasi yang belum matang inilah yang memicu pro dan kontra bukan semata-mata kesalahan pengusaha atau masyarakat.

Dengan kata lain, pemerintah daerah harus kembali hadir meluruskan,memperjelas batas, antara hiburan, pelanggaran moral, dan aturan hukum yang berlaku agar tidak menciptakan issue sosial di tengah masyarakat.

Untuk melihat perbandingan, di beberapa daerah di Indonesia, regulasi hiburan malam memang sangat bervariasi:

Contoh:

Aceh: Melalui Qanun Syariat Islam, pemerintah melarang secara tegas keberadaan tempat hiburan malam dan penjualan minuman beralkohol. Pelanggaran bisa berujung pada hukuman cambuk atau pencabutan izin usaha.

Bali: Sebaliknya, Bali mengatur THM sebagai bagian dari sektor pariwisata dengan standar ketat. Minuman beralkohol boleh dijual dengan izin khusus, karena dianggap bagian dari industri hiburan internasional yang mendukung wisata.

Manado: Di kota ini, tempat hiburan malam diterima secara terbuka, namun diatur dalam zona tertentu dan beroperasi dengan izin resmi. Pemerintah dan masyarakat telah mencapai kesepakatan sosial untuk menjaga ketertiban tanpa menghilangkan ruang hiburan.

Setiap daerah memiliki nilai budaya dan moral yang berbeda. Di wilayah seperti Aceh dan sebagian Kalimantan, norma agama dan adat masih sangat kuat, sehingga keberadaan THM dianggap mencederai nilai-nilai lokal.

Sementara di daerah wisata seperti Bali atau kota besar seperti Manado dan Jakarta, hiburan malam sudah menjadi bagian dari dinamika ekonomi kreatif yang diterima masyarakat tanpa banyak penolakan.

Perdebatan di Berau sejatinya menunjukkan adanya benturan antara kebutuhan ekonomi dan nilai moral budaya.

Sebagai catatan akhir, penulis berpandangan bahwa persoalan hiburan malam tidak bisa dilihat hitam putih. Jika pemerintah mampu menata dengan tegas mulai dari perizinan, pengawasan, hingga edukasi sosial maka THM bisa berfungsi sebagai ruang ekonomi, bukan sumber keresahan moral.

Yang paling penting adalah transparansi dan keberpihakan pada aturan. Karena ketika kebijakan kabur dan pengawasan lemah, kontroversi seperti ini akan terus berulang, dan masyarakat akan saling menyalahkan tanpa menemukan solusi yang adil dan bijak.***

Penulis: Ismail
Editor : Vina

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *