(Aktivis.co.id) — Berau, Kalimantan Timur.Pekerjaan pembangunan jalan trotoar di Kabupaten Berau menuai kontroversi di tengah masyarakat. Pasalnya, proyek tersebut dinilai tidak mendesak karena kondisi trotoar lama masih tergolong mulus dan bahkan belum berusia tiga tahun sejak dibangun.
Sejumlah warga mempertanyakan urgensi pembongkaran trotoar tersebut yang justru dilakukan dengan alat berat seperti jumper, sehingga menimbulkan kerusakan dan debu di area sekitar. Mereka menilai langkah itu berpotensi sebagai bentuk pemborosan anggaran daerah.
“Trotoar yang lama masih bagus, bahkan masih dalam masa pemeliharaan. Tapi dibongkar lagi, padahal banyak infrastruktur lain yang lebih penting untuk diperbaiki,” ungkap salah satu warga Kelurahan Tanjung Redeb yang enggan disebut namanya.
Hal senada disampaikan Ketua LSM Peduli Pembangunan dan Keadilan (Puja), yang menilai proyek itu tidak mencerminkan asas efisiensi dan prioritas pembangunan yang diatur dalam regulasi pemerintah.
“Ini pekerjaan yang semestinya tidak dilakukan, karena trotoarnya masih layak digunakan. Ingat, itu uang rakyat, bukan uang pribadi pejabat atau kontraktor. Kata Wakil Bupati sendiri, uang rakyat harus digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pemerintah dan pelaksana proyek,” tegas Puja.
Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya Pasal 3 dan Pasal 4, setiap penggunaan APBD harus berpedoman pada prinsip efisien, efektif, transparan, dan akuntabel, serta mengutamakan program yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Selain itu, Peraturan Menteri PUPR Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa pelaksanaan proyek fisik harus mempertimbangkan tingkat kebutuhan, kondisi eksisting, dan keberlanjutan fungsi infrastruktur.
Pembongkaran trotoar yang masih layak pakai tanpa kajian teknis yang jelas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip efisiensi pembangunan infrastruktur.
Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat mendesak agar pihak terkait, terutama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kepala Bidang (Kabid) di dinas teknis, memberikan penjelasan resmi mengenai dasar perencanaan dan urgensi proyek tersebut.
Mereka juga meminta Inspektorat Daerah dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit atas perencanaan, penganggaran, hingga pelaksanaan proyek agar publik tidak kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah daerah.
“Transparansi harus dikedepankan. Kalau proyek ini terbukti tidak sesuai skala prioritas, maka harus dievaluasi. Jangan sampai APBD hanya jadi alat untuk menguntungkan pihak tertentu,” tambah Puja.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap program pembangunan daerah wajib mengacu pada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan aspirasi masyarakat.
Jika pekerjaan dilakukan tanpa dasar kebutuhan riil dan analisis manfaat, maka bisa berpotensi melanggar asas good governance dan moral hazard dalam pengelolaan APBD.
Redaksi: Kasus seperti ini menjadi cermin penting bagi pemerintah daerah agar lebih berhati-hati dalam menentukan prioritas pembangunan.
Setiap rupiah uang rakyat seharusnya diarahkan untuk kesejahteraan bersama, bukan sekadar proyek yang tampak indah di atas kertas namun minim manfaat nyata bagi warga.***
Penulis : Mail
Editor. : Teguh S.H






