Aceh, aktivis.co.id – Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh sejak akhir November lalu dinilai belum menunjukkan pemulihan nyata. Meski pemerintah menyatakan kondisi telah membaik, fakta di lapangan justru memperlihatkan krisis lanjutan berupa lonjakan harga kebutuhan pokok, kelangkaan energi, serta distribusi logistik yang belum merata.
Di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, wilayah dataran tinggi Tanah Gayo, harga bahan pokok masih bertahan tinggi hingga lebih dari tiga pekan pascabencana. Harga beras ukuran 15 kilogram tercatat berkisar Rp380.000 hingga Rp400.000 per sak, melonjak signifikan dibandingkan harga normal sebelum bencana yang berada di kisaran Rp200.000–Rp230.000.
Kenaikan harga juga terjadi pada komoditas lain. Telur ayam ras dijual hingga Rp130.000 per papan, ikan teri asin mencapai Rp150.000 per kilogram, sementara ikan segar kualitas sedang menembus Rp200.000 per kilogram. Kelangkaan gas elpiji memaksa warga kembali menggunakan kayu bakar, dengan harga mencapai Rp10.000 per ikat.
Kondisi tersebut diperparah oleh rusaknya jalan dan jembatan akibat banjir dan longsor. Jalur distribusi utama belum sepenuhnya pulih, sehingga pasokan pangan dan bahan bakar minyak (BBM) hanya dapat masuk secara terbatas melalui jalur darurat. Dampaknya, harga BBM bersubsidi di tingkat pengecer melonjak hingga Rp35.000 per liter.
Situasi ini memicu kekecewaan masyarakat karena dinilai bertolak belakang dengan pernyataan pemerintah yang menyebut kondisi telah membaik. Di sejumlah wilayah, warga bahkan mengibarkan bendera putih sebagai simbol keterdesakan dan seruan meminta perhatian yang lebih serius, termasuk dari komunitas internasional.
Menanggapi kondisi tersebut, Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Aceh menyatakan sikap kritis. Organisasi mahasiswa ini menilai negara terlalu dini menyimpulkan pemulihan, sementara masyarakat masih bergulat dengan pemenuhan kebutuhan paling dasar.
BADKO HMI Aceh, Rahmat Firman Hafrizal, menyebut terdapat kesenjangan nyata antara narasi kebijakan dan kondisi faktual di lapangan.
“Ketika masyarakat masih menghadapi keterbatasan pangan, harga yang tidak terkendali, dan akses yang terputus, klaim bahwa kondisi telah membaik belum mencerminkan realitas. Pemulihan seharusnya diukur dari terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat,” ujar Rahmat.
Ia juga menyoroti kebijakan pemerintah yang menutup bantuan kemanusiaan internasional di tengah situasi darurat, namun tetap membuka ruang luas bagi kepentingan investasi dan masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA).
“Prinsip kemandirian tidak seharusnya dijadikan alasan untuk membatasi bantuan kemanusiaan. Dalam kondisi krisis, yang dibutuhkan adalah kecepatan, keterbukaan, dan keberpihakan pada keselamatan rakyat,” katanya.
Persoalan Distribusi Logistik
Selain persoalan harga dan akses, BADKO HMI Aceh menyoroti distribusi logistik bantuan yang dinilai belum berjalan merata dan proporsional. Di sejumlah wilayah terdampak, bantuan sembako dilaporkan menumpuk di titik tertentu, sementara daerah lain yang sama-sama terdampak justru belum tersentuh secara memadai.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya perencanaan distribusi dan minimnya pemetaan kebutuhan berbasis kondisi lapangan. Bantuan yang seharusnya menjadi instrumen perlindungan sosial kehilangan efektivitas akibat distribusi yang tidak terkoordinasi secara optimal.
“Masalah utama bukan hanya ketersediaan bantuan, tetapi tata kelola dan transparansi penyalurannya. Ketika distribusi tidak merata dan data penerima tidak terbuka, ketidakadilan justru muncul di tengah situasi darurat,” tegas Rahmat.
Ia menambahkan bahwa ketidakteraturan distribusi mencerminkan belum optimalnya koordinasi antar instansi serta minimnya pelibatan elemen masyarakat yang memiliki akses langsung ke kondisi lapangan.
“Dalam situasi bencana, kecepatan harus dibarengi dengan akurasi. Tanpa pelibatan masyarakat lokal, relawan, dan mahasiswa, distribusi bantuan rentan tersendat dan tidak sesuai kebutuhan riil warga,” tambahnya.
Sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial, BADKO HMI Aceh menegaskan komitmennya untuk terus mengawal penanganan bencana dan pemulihan pascabencana.
“Mahasiswa tidak hadir untuk mencari perhatian. Kami bersuara karena masih ada rakyat yang kesulitan. Selama pemulihan belum benar-benar dirasakan masyarakat, mahasiswa akan tetap menjalankan peran kritisnya,” pungkas Rahmat.






