Feature Opini: Teguh S.H
(Aktivis co.id.)– Dalam sunyi ruang redaksi kecil di pelosok Kalimantan, seorang jurnalis muda menolak tawaran liputan berbayar dari seorang pejabat lokal yang ingin menyerang lawan politiknya, meski faktanya bertolak belakang dengan kebenaran. Penolakan itu bukan semata aksi heroik, melainkan suara batin sebuah keputusan sadar untuk tidak menjual kebenaran demi kepentingan sesaat.
Kisah ini menggambarkan dilema nyata yang dihadapi banyak insan pers, terutama di daerah: antara bertahan secara ekonomi atau menjaga integritas profesi. Banyak media lokal beroperasi dalam keterbatasan sumber daya, tekanan iklan, dan bahkan ancaman politik. Di tengah tekanan itu, kemandirian usaha muncul sebagai jalan penting yang perlu dipahami bukan hanya sebagai strategi bertahan hidup, tetapi juga sebagai fondasi utama menjaga etika jurnalistik.
Kemandirian usaha bagi media bukan sekadar upaya mencari pemasukan alternatif. Ia adalah perlawanan terhadap kolonialisasi narasi oleh kekuasaan, pemilik modal, dan algoritma. Media yang mandiri bisa menentukan sendiri fokus liputan, berpihak pada suara rakyat, dan tidak gentar mengungkapkan kebenaran. Dari kelas menulis, pelatihan anti-hoaks, hingga kanal edukasi warga, model ini menghidupkan kembali peran pers sebagai institusi pencerah.
Lebih dari sekadar ekonomi, pendekatan ini membuka ruang bagi lahirnya kesadaran spiritual dalam dunia jurnalistik. Di beberapa ruang redaksi kecil, mulai tumbuh praktik refleksi etik yang bersumber dari nilai-nilai lintas agama. Prinsip tabayyun dalam Islam, pesan kasih dalam Injil, filosofi dharma dalam Hindu, dan ajaran Samma Vaca dalam Buddha menjadi pijakan moral yang menyatu dalam kerja jurnalistik yang bertanggung jawab.
Dalam semangat itu, jurnalisme bisa menjadi jalan ibadah, jalan pengabdian, jalan untuk menjaga cahaya akal sehat di tengah kabut disinformasi. Jurnalis bukan sekadar pencatat peristiwa, melainkan juga pengemban nilai penjaga nalar publik dan perpanjangan suara yang tertindas. Namun semua ini akan lumpuh bila media terus menggantungkan kelangsungannya pada kekuatan-kekuatan eksternal yang kerap bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran.
Gerakan kecil dari berbagai penjuru negeri pun mulai tumbuh. Media komunitas, penerbitan alternatif, jurnalisme warga, bahkan kedai kopi jurnalis semua menjadi bentuk-bentuk kemandirian yang menyatukan fungsi ekonomi dan nilai perjuangan. Ini bukan romantisme. Ini adalah respons terhadap tekanan sistemik yang menggerus independensi pers dari hari ke hari.
Sejarah telah mengajarkan bahwa pers sejati lahir dari keberanian melawan arus. Tirto Adhi Soerjo, SK Trimurti, hingga jurnalis bawah tanah Orde Baru bukanlah pewarta biasa. Mereka menyalakan cahaya kecil yang menyulut bara perubahan. Kini, tantangan mungkin lebih halus berupa framing pesanan, berita berbayar, atau klikbait politik. Tapi ancamannya tetap sama: membunuh integritas dan membutakan publik.
Peringatan dari tokoh-tokoh lintas zaman dan lintas iman menegaskan: media harus menjadi mata rakyat, bukan alat kekuasaan. Logika publik harus dijaga melalui berita yang jujur, bukan direkayasa untuk kepentingan segelintir elite. Dalam konteks inilah, pembangunan kemandirian usaha media menjadi pondasi yang tidak bisa ditawar, karena tanpanya, idealisme akan mudah dibeli, dan nurani akan dilumpuhkan oleh kebutuhan harian.
Catatan ini bukan untuk menggurui, bukan pula klaim atas kebenaran mutlak. Ia adalah pengingat tentang hakikat profesi yang sering dilupakan dalam hiruk pikuk rutinitas. Sebuah refleksi bagi siapa pun yang menyebut dirinya bagian dari dunia pers: bahwa jurnalisme sejati dibangun di atas keberanian, kebenaran, dan kesetiaan pada nurani.
Di tengah keterbatasan dan tekanan zaman, masih ada ruang bagi kebangkitan. Ruang itu terletak pada keberanian untuk berkata tidak pada berita pesanan, dan ya pada kebenaran. Di situlah jurnalisme menemukan bentuknya yang paling mulia sebagai cahaya kecil di tengah gelap, yang tak hanya mengabarkan, tapi juga menuntun.
Editor (Teguh S.H)