PEKANBARU (AKTIVIS.CO.ID) – Komisi III DPRD Riau mengajukan usulan agar perusahaan sawit diwajibkan membayar iuran pembangunan jalan. Usulan ini muncul sebagai solusi atas kerusakan jalan yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas operasional perusahaan sawit.
Ketua Komisi III DPRD Riau, Edi Basri, menjelaskan bahwa iuran ini akan diatur dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Setiap perusahaan sawit nantinya diwajibkan membayar iuran sebesar Rp80 ribu hingga Rp100 ribu per hektare lahan kebun yang dimiliki. Dana yang terkumpul akan disalurkan ke APBD dan dialokasikan untuk pembangunan serta perbaikan jalan.
“Anggaran APBD Provinsi Riau saat ini sangat terbatas untuk menangani kerusakan jalan yang parah. Oleh karena itu, partisipasi dari perusahaan sawit yang turut menjadi penyebab kerusakan jalan menjadi sangat penting,” kata Edi, Jumat (27/12).
Ia menambahkan, perusahaan seharusnya memberikan dampak positif terhadap pembangunan daerah. Namun, kondisi saat ini justru sebaliknya. Operasional truk-truk dengan tonase besar menyebabkan kerusakan jalan yang akhirnya harus diperbaiki menggunakan dana APBD.
“Seharusnya keberadaan perusahaan ini membantu pembangunan. Jangan sampai jalan diperbaiki pakai APBD untuk umum, tetapi rusak lagi karena operasional truk mereka. Ini malah terkesan daerah yang memberi subsidi ke perusahaan,” tegas Edi.
Menurut perhitungan kasar, dengan luas jutaan hektare kebun sawit di Riau, iuran sebesar Rp80 ribu hingga Rp100 ribu per hektare dapat menghasilkan dana hingga Rp2 triliun.
“Jika dana sebesar itu difokuskan untuk pembangunan jalan, saya yakin seluruh jalan di Riau, termasuk di daerah pedesaan, akan menjadi lebih baik,” ujarnya.
Sebagai alternatif, jika perusahaan menolak iuran wajib tersebut, Edi mengusulkan agar pemerintah provinsi mendirikan portal di jalan-jalan umum untuk membatasi akses truk sawit bertonase besar. Langkah ini diharapkan dapat melindungi kondisi jalan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
“Jika tidak ada kontribusi, maka pemerintah harus tegas. Jangan sampai fasilitas publik justru rusak akibat operasional perusahaan,” pungkas Edi.